Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fenomena Artis Jadi Politikus, Pengamat: Kaderisasi Parpol di Indonesia Masih Buruk


KOMPAS.com - Ketua Badan Pembinaan Kepemimpinan Daerah DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Zulkieflimansyah menyebut bahwa Raffi Ahmad adalah sosok yang pantas diusung PKS pada Pilpres 2022.

Pernyataan tersebut dilontarkan Zulkieflimansyah melalui unggahannya di media sosial Instagram, Sabtu (28/5/2022), dalam rangka ulang tahun PKS ke-20.

"Ternyata dari ngomong-ngomong informal dengan Kepala-kepala Daerah PKS ini kalau ditanya siapa yang pantas dicalonkan PKS di Pilpres 2024 yang muncul bukanlah Anies Baswedan, Ganjar, dan Prabowo tapi sosok muda seperti Raffi Ahmad," tulis Zulkieflimansyah.

Pernyataan itu pun ramai diperbincangkan warganet di media sosial hingga menjadi topik terkini Indonesia di Twitter.

Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com pada Senin (30/5/2022), Sekretaris Jenderal DPP PKS, Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan bahwa usulan Zulkieflimansyah hanya guyonan saja.

Aboe Bakar menegaskan, PKS belum memutuskan calon presiden yang akan diusung pada Pilpres 2024.

“Yang bicara calon presiden siapa pun masih belum dianggap resmi sebelum Majelis Syuro menyampaikan itu,” kata Aboe.

Tanggapan pengamat politik

Menanggapi hal tersebut, sebagaimana diberitakan KOMPAS.com pada Selasa (31/5/2022), pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wijayanto mengatakan, pernyataan mengenai pencalonan Raffi Ahmad sebagai Capres 2024 oleh PKS itu hanya sensasi belaka.

Wijayanto menilai, Raffi Ahmad tidak memiliki rekam jejak menjadi pemimpin pemerintahan atau partai politik, sehingga kapasitasnya dalam memimpin negara sangat diragukan.

"Menurut saya ini (pencalonan Raffi Ahmad sebagai Capres 2024) hanya cari sensasi saja," ujar Wijayanto, saat dihubungi KOMPAS.com, Senin (30/5/2022).

"Atau alasan lainnya karena Raffi Ahmad punya modal kapital atau ekonomi, itu bisa saja," imbuhnya.

Fenomena artis jadi politikus

Wijayanto menjelaskan, fenomena artis jadi politikus merefleksikan keadaan kaderisasi partai politik di Indonesia.

"Kalau dari tahun ke tahun ada artis yang masuk ke pemilu, itu merefleksikan bahwa memang kaderisasi partai politik kita itu masih buruk sampai sekarang," jelasnya.

Menurut Wijayanto, partai politik yang mencalonkan pemimpin atau kepala daerah bahkan kepala negara yang bukan berasal dari kadernya mengindikasikan adanya krisis kaderisasi dalam partai politik itu.

Artinya, Wijayanto menerangkan, partai politik itu tidak mempunyai kader yang dianggap layak untuk dicalonkan sehingga mencari orang yang sudah populer, terutama dari kalangan artis.

Hanya untuk dongkrak popularitas partai

Sayangnya, Wijayanto menambahkan, fenomena artis jadi politikus hanya terkesan untuk mendongkrak popularitas partai.

Pasalnya, popularitas tersebut tidak diimbangi dengan kapabilitas para artis tersebut di dunia politik.

"Masalahnya adalah ada banyak artis yang menjadi anggota dewan, eksekutif, atau pemimpin yang ternyata tidak banyak berperan," tegasnya.

"Artis-artis ini kemudian hanya menjadi ornamen politik," lanjutnya.

Padahal, Wijayanto mengingatkan, popularitas berbeda dengan elektabilitas. Orang yang memiliki popularitas tidak berarti akan dipilih oleh rakyat.

Wijayanto menuturkan, krisis kaderisasi juga merefleksikan permasalahan partai politik secara umum dan membuat partai politik lamban dalam melakukan reformasi sejak tahun 1998.

Sebagai contoh, terdapat partai yang jabatan ketua umumnya diwariskan ke keturunannya, penentuan calon pemimpin daerah dari partai pusat, hingga sentralisasi politik yang menyebabkan terjadinya politik dinasti dan oligarki politik.

"Partai politik itu satu lembaga politik yang paling penting buat demokrasi, tapi menurut saya, justru paling lambat dalam melakukan reformasi," pungkasnya.

(Penulis: Alinda Hardiantoro | Editor: Rendika Ferri Kurniawan)

Sumber: KOMPAS.com

https://www.kompas.com/wiken/read/2022/06/04/133000281/fenomena-artis-jadi-politikus-pengamat--kaderisasi-parpol-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke