Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sosiolog: Pemindahan Ibu Kota Penting untuk Disrupsi Jejak Kolonial

Menurut Roby, pemindahan ibu kota itu penting dilakukan untuk menghapus jejak-jejak kolonial. Sebab, ibu kota Indonesia yang sekarang, Jakarta, merupakan warisan kolonial.

"Pemindahan ibu kota negara untuk disrupsi jejak-jejak kolonial," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Senin (31/1/2022).

Roby menjelaskan, ada dua poin yang perlu disampaikan terkait pemindahan ibu kota baru ini.

Poin pertama, menurut dia, keputusan besar seperti pemindahan ibu kota baru harus dilihat dari konteks makro yang besar, bukan hanya dari hal teknis.

Kalau hanya berdasarkan pertimbangan ekonomi atau bisnis, lanjut Roby, keputusan sebesar ini tidak akan masuk logika. Pemindahan ibu kota ini tidak akan berdampak langsung secara ekonomi, malah akan rugi.

Hal ini, kata dia, mirip saat pendiri negara mengambil keputusan besar saat itu, yakni proklamasi kemerdekaan Indonesia.

"Kalau dihitung secara ekonomi, nggak akan masuk, kita rugi. Ngapain kita ngelawan penjajah, negaranya juga miskin. Enggak bisa, tapi tetap kita ambil (keputusan itu)," kata Roby.

Saat ini, lanjut dia, bangsa ini sudah haus akan keputusan-keputusan besar yang mendisrupsi arah bangsa secara fundamental.

Diakuinya, di zaman modern seperti sekarang, setiap keputusan didominasi oleh hal yang bersifat teknis, ekonomis dan bisnis.

Namun terkait dengan pemindahan ibu kota negara ini, perspektif lain harus dipertimbangkan, yakni sosial dan budaya. 

"Tapi ya kadang-kadang, bukan sesuatu yang sering dilakukan. Menurut saya ini penting dan kita punya kesempatan sekarang," jelas Roby.

Poin kedua, dia melanjutkan, sesuai dengan semangat poin pertama, bahwa pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur melampaui urusan ekonomi, bahkan politik.

"(Poin kedua) mengenai perubahan cara berpikir bahkan budaya," ujarnya.

Menurut dia, pemindahan ibu kota baru sangat pas. Ibu kota negara saat ini, Jakarta, dipilih karena terkait kepentingan pragmatis pemerintah kolonial waktu itu.

"Waktu dulu kita gunakan karena kepentingan pragmatis saja, karena mudahnya kan. Semua sudah di Jakarta, Batavia, ya sudah kita pakai (jadi ibu kota negara)," katanya.

Menurut Roby, sebenarnya jika para pendiri bangsa merancang kemerdekaan dari nol tentu akan memilih sendiri ibu kota pilihan mereka.

"Akan lebih panjang urusannya. Akan dipikirkan matang-matang," kata dia.

Jakarta warisan kolonial

Ibu kota Jakarta, menurut dia, dipilih pemerintah kolonial demi keuntungan mereka saja. Keuntungan yang dimaksud, yaitu mengeruk kekayaan nusantara sebesar-besarnya tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

"Tentunya sangat logis, buat apa mereka (kolonial) pikirkan (bangsa Indonesia)," katanya.

Saat itu, kolonial menjadikan Jakarta sebagai ibu kota hanya untuk mengeruk kekayaan saja. Tak hanya Jakarta, utamanya Pulau Jawa dengan jumlah penduduk cukup banyak dan sumber daya alam yang banyak.

Pertimbangan Jakarta atau Batavia jadi ibu kota hanya untuk efisiensi dan eksploitasi nusantara.

Menurut Roby, rakyat Indonesia sudah mengalami efek akibat terus menggunakan logika tersebut, yaitu menimbulkan ketimpangan yang parah ketika pembangunan sangat terfokus pada Jakarta atau Pulau Jawa.

"Kita sadar ini tak bisa dipertahankan, tak suistainable, jika kita mengesampingkan pulau selain Jawa. Ini sudah disadari Pak Jokowi yang mengatakan ingin membangun Indonesia sentris," jelasnya.

Semangat pemerataan pembangunan sebetulnya sudah ada sejak awal. Hal ini ditunjukkan saat Jokowi membangun infrastruktur, justru di daerah-daerah yang bisa disebut pinggir, bukan di pusat.

"Yang secara itungan politik tak rasional, karena pemilihnya sedikit, sepi, mahal, buat apa?" katanya.

Dalam hal ini, menurut Roby, Jokowi sudah rasional. Jokowi memulai dari yang kecil, misalnya membangun pos tapal batas.

"Gongnya perubahan mendasar fundamental, budaya dengan memindahkan ibu kota ke Kalimantan," ujarnya.

Roby turut memberi pandangan terkait dipilihnya ibu kota baru di daerah Paser, Kalimantan Timur. Baginya, pemilihan daerah itu hanya itungan teknis, teknokratis, pertimbangan ekonomi, dan pertahanan.

"Tapi poinnya adalah memindahkan, menjadi lebih ke tengah, sederhana saja. Negara lain pun melakukan hal serupa dan merepresentasikan lebih ke Indonesia sentris," katanya.

"Ini kesempatan untuk melakukan itu tadi, disrupsi budaya kita dengan sebuah pembangunan fisik yang riil. Bukan hanya jargon atau doktrinisasi," tambah Roby.

Polemik nama Nusantara

Lebih lanjut, saat ditanya soal polemik nama Nusantara untuk ibu kota baru ini yang disebut Jawa sentris, Roby mengakuinya.

Jika dirunut dari asal usul genologi, kata Nusantara memang dari budaya Jawa.

"Tapi itu kan hanya satu aspek penamaan, dan Nusantara sudah kita terima sebagai bukan istilah, lebih dari istilah. Karena itu tidak ada terjemahan lagi (mengenai) Nusantara, misalnya ke bahasa Inggris. Itu sangat unik untuk Indonesia," beber Roby.

Kata Nusantara sudah jadi istilah yang memiliki arti keindonesiaan. Selain itu, tentunya Indonesia ini beragam.

"Bukan berarti harus meninggalkan segala hal, Jawa atau apapun," jelasnya.

Menurut dia, hal itu bisa jadi salah satu landasan bahwa keberagaman itu adalah DNA Indonesia.

Lokasinya di Kalimantan Timur, namanya Nusantara yang diambil dari istilah budaya Jawa yang sudah diserap ke bahasa Indonesia dan bersifat unik milik Indonesia.

"(Kata Nusantara) tak ada padanan di dunia," katanya.

https://www.kompas.com/wiken/read/2022/01/31/184509781/sosiolog-pemindahan-ibu-kota-penting-untuk-disrupsi-jejak-kolonial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke