Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dari Masker, Susu Beruang hingga Minyak Goreng, Kenapa Orang Mudah Panic Buying?

KOMPAS.com - Selama pandemi Covid-19, fenomena panic buying sering terjadi di Indonesia.

Untuk diketahui, panic buying merupakan tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang.

Di Indonesia, beberapa barang menjadi sasaran panic buying karena dianggap sulit ditemukan hingga langka.

Seperti hal pertama kali virus corona masuk ke Indonesia, masker, hand sanitizer, temulawak hingga susu beruang pernah ramai-ramai dibeli bahkan adanya indikasi penimbunan barang.

Selain itu, baru-baru ini harga minyak goreng yang melambung hingga Rp 28.000 per liter mulai dicari oleh warga.

Sehingga ketika pemerintah mensubsidi dan memberlakukan kebijakan minyak goreng dengan satu harga di seluruh Indonesia sebesar Rp 14.000 per liter.

Warga membludaki toko dan waralaba untuk mendapatkan minyak goreng harga murah.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, kebijakan ini tidak hanya dibuka beberapa hari atau minggu saja, melainkan 6 bulan lamanya.

Namun, nyatanya panic buying tidak bisa dihindarkan di hari pertama pemberlakuannya. Banyak toko langsung kehabisan stok minyak goreng. Sebagian masyarakat tidak kebagian.

Lantas, kenapa orang mudah panic buying?

Melihat fenomena panic buying semacam ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memandang ada beberapa aspek yang perlu disorot.

Lemahnya edukasi dan kebijakan dari pemerintah

Pertama adalah lemahnya pemahaman konsumen terkait panic buying.

"Edukasi dan kesadaran masyarakat perlu terus ditingkatkan oleh semua pihak, berkaca dari banyak kejadian- sebelumnya," kata anggota Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (20/1/2022).

"Panic buying bukan tindakan yang smart, baik dari sisi ekonomi dan sosial," lanjut dia.

Tak hanya di pihak konsumen, Agus juga melihat kebijakan yang dibuat pemerintah kurang spesifik dan lemah dalam pengawasan.

"Tidak ada yang salah dalam pemberian subsidi, namun jika tidak diimbangi dengan mekanisme dan pengawasan yang kuat di lapangan, justru akan menimbulkan masalah baru," jelas Agus.

Masalah yang dimaksud, misalnya adalah rentan terjadinya salah sasaran.

Kelompok yang semestinya mendapatkan manfaat subsidi justru kalah oleh kelompok lain yang lebih berdaya secara ekonomi.

"Subsidi yang bersifat terbuka rentan salah sasaran, sebab semua bisa mengakses dengan mudah. Potensi munculnya panic buying yang dilakukan oleh konsumen dengan kemampuan finansial baik akan sangat besar, bahkan mungkin saja akan terjadi penimbunan oleh oknum untuk keuntungan pribadi," terang dia.

Menurut dia, persoalan semacam ini sudah sering terjadi, tetapi pemerintah tidak juga menjadikannya sebagai pelajaran untuk mengadakan program subsidi dengan aturan main dan pengawasan yang lebih baik.

"Gelontoran subsidi bisa dilakukan, tetapi dengan terget yang jelas, berapa masyarakat yang bisa mendapat manfaat ini. Dengan demikian perlu pengawasan yang kuat dalam implementasi," ujar dia.

Lemahnya mekanisme dan pengawasan ini lah yang menyebabkan panic buying dan penimbunan terjadi di masyarakat.

Selain itu, Agus menilai selama ini pemerintah juga kurang tepat dalam mengukur keberhasilan program subsidi yang dilakukan.

"Tolok ukur subsidi selama ini adalah berapa barang/Rupiah yang sudah digerojokan, bukan berapa banyak masyarakat terdampak yang menikmati subsidi," kata Agus.

Terakhir, Agus mengatakan selain memberikan subsidi untuk meringankan beban masyarakat, pemerintah hendaknya memikirkan solusi akhirnya, karena subsidi dinilai bukan jalan keluar atas tingginya harga suatu produk di pasaran.

"Ibarat orang sakit yang diberi minyak angin/balsem, pemberiaan subsidi ini tidak akan menyembuhkan penyakit yang sebenarnya. Sifatnya hanya menghangatkan sementara di tempat tertentu saja," ujar Agus.

"Idealnya pemerintah mendiagnosis penyebab dari mahalnya minyak goreng, kemudian memberikan obat yang tepat," pungkas dia.

Sifat manusiawi saat bertahan hidup

Menurut pakar perilaku manusia Dr.Ali Fenwick, setidaknya ada empat alasan mengapa pada saat wabah seperti sekarang ini orang merasa perlu memborong dan menimbun barang di rumah:

1. Modus bertahan hidup

Situasi yang tidak pasti atau mengancam akan membuat bagian otak yang lebih primitif mengambil alih, dan tujuan utamanya adalah membuat kita tetap hidup. Kondisi ini akan menekan atau mengacaukan pola pikir rasional.

Jadi, meski pemerintah berjanji kebutuhan pokok akan tetap terjamin, tak banyak orang yang mendengarkan.

Mayoritas orang belum pernah berada dalam situasi krisis kesehatan seperti sekarang, sehingga mereka lebih memilih membeli makanan lebih banyak dari pada beresiko kelaparan.

Langkanya beberapa barang dan produk membuat orang menganggapnya sebagai hal yang berharga, sehingga mereka rela membayarnya dengan harga mahal.

Hal itu juga membuat kita membeli barang yang tidak kita butuhkan karena kita tiba-tiba menganggapnya itu bernilai lebih. Hal itu bisa menjelaskan mengapa ada orang yang kalap membeli berdus-dus mi instan atau tisu toilet, walau di rumah masih ada.

3. Perilaku kawanan

Fenwick menjelaskan bahwa faktanya berita tentang orang-orang yang memborong barang-barang, bahkan yang sebenarnya tidak dibutuhkan, bisa memicu kita untuk melakukan hal yang sama.

Segala sesuatu memang serba tidak pasti sekarang ini, entah kapan wabah akan berakhir dan ekonomi bangkit kembali.

Hal ini akan mendorong kita melakukan apa yang orang lain perbuat, bahkan meski hal itu tidak tepat.

4. Rasa kendali

Dalam situasi yang tidak pasti, kita butuh merasa memiliki kendali akan sesuatu. Membeli barang kebutuhan pokok dalam jumlah banyak membuat kita merasa punya kendali, karena kita menganggap jika hal yang terburuk datang, kita bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

Perilaku memborong barang-barang saat wabah, menurut Fenwick, disebabkan oleh faktor psikologi dan lingkungan.

“Dalam modus bertahan hidup, kita membuat keputusan berdasarkan emosi dan gampang terpengaruh oleh pengaruh sosial. Jadi, kita panik dan memborong barang karena yakin orang lain juga melakukannya,” katanya.

(Sumber : Kompas.com Penulis Luthfia Ayu Azanella | Editor Rendika Ferri Kurniawan, Lusia Kus Anna)

https://www.kompas.com/wiken/read/2022/01/22/115800981/dari-masker-susu-beruang-hingga-minyak-goreng-kenapa-orang-mudah-panic

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke