Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Noda" Pemilu 2024, Pelanggaran Etik Ketua MK-KPU dan Peringatan Para Guru Besar untuk Pemerintah

Kompas.com - 06/02/2024, 12:45 WIB
Diva Lufiana Putri,
Ahmad Naufal Dzulfaroh

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tinggal menghitung hari. Namun, pesta demokrasi ini harus ternodai oleh sejumlah pelanggaran etik.

Seperti peribahasa "nila setitik rusak susu sebelanga", sejumlah pelanggaran etik ini pun dianggap oleh berbagai pihak akan berpengaruh pada legitimasi Pemilu 2024.

Hal ini bermula dari pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres).

Gibran kini berpasangan dengan Prabowo Subianto untuk berkontestasi dalam Pilpres 2024 melawan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Meski diwarnai pelanggaran etik dan kritikan, pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024 tak akan terpengaruh.

Baca juga: Loloskan Gibran, Ketua KPU Disanksi, Bisakah Penetapan Cawapres Dibatalkan?


Pelanggaran kode etik Ketua MK

Awal November lalu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan untuk memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Diberitakan Kompas.com (7/11/2023), pelanggaran etik yang diperiksa MKMK terkait Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru.

"Memutuskan, menyatakan hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam sapta karsa hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan," ujar Jimly.

Berkat putusan itu, Gibran dapat melaju ke kontestasi Pilpres 2024 pada usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya kurang lebih 3 tahun.

Namun, MKMK menyatakan, pelanggaran etik Anwar Usman tak serta-merta mengubah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Putusan yang mengatur bahwa kepala daerah dapat maju dalam pilpres meski belum berusia 40 tahun itu tetap berlaku, sehingga tak memengaruhi posisi Gibran sebagai cawapres.

Baca juga: Ketua KPU Disanksi DKPP karena Pelanggaran Etik, Ini Komentar Mahfud, Muhaimin, dan Gibran

Ketua KPU dkk disanksi karena loloskan Gibran

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari buka suara terkait salah satu anggota KPU Padangsidimpuan, Parlagutan Harahap, yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan calon legislatif di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Rabu (31/1/2023). KOMPAS.com/Fika Nurul Ulya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari buka suara terkait salah satu anggota KPU Padangsidimpuan, Parlagutan Harahap, yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan calon legislatif di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Rabu (31/1/2023).

Sekitar tiga bulan usai pelanggaran etik Ketua MK, "kesalahan" serupa kembali terulang oleh lembaga penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari, pada Senin (5/2/2024).

Hasyim dinilai melanggar kode etik karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Hasyim Asy'ari sebagai teradu 1 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu," kata Ketua DKPP Heddy Lugito saat membacakan putusan sidang di Jakarta, dikutip dari Kompas.com, Senin.

Bukan hanya Hasyim, pelanggaran kode etik turut menyeret enam Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Mochamad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holik.

Total ada empat aduan terhadap semua Komisioner KPU terkait perkara etik pencalonan Gibran ini.

Para teradu didalilkan telah menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres pada 25 Oktober 2023.

Menurut para pengadu, hal itu tidak sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 karena belum direvisi atau diubah pasca adanya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Revisi Peraturan KPU yang mengubah syarat usia capres-cawapres sendiri baru diteken pada 3 November 2023.

Baca juga: Guru Besar Ramai-ramai Kritik Jokowi, Begini Respons Kubu Amin, TPN, TKN, dan Istana 

Guru besar "turun gunung" peringatkan pemerintah

Prof Koentjoro membacakan petisi Bulaksumur.Tangkapan layar akun youtube UGM Prof Koentjoro membacakan petisi Bulaksumur.
Dinamika politik tanah air menjelang Pilpres 2024 yang kian memanas ini memicu guru besar dan sivitas akademika dari berbagai universitas menyampaikan kritik terhadap Presiden Jokowi.

Diawali oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menjadi almamater Jokowi, puluhan kampus pun ikut memberi peringatan agar pemerintah tidak keluar dari koridor demokrasi.

Mereka juga mendesak Jokowi untuk menjadi penyelenggara negara yang mewujudkan pelaksanaan Pemilu 2024 dengan jujur dan adil.

Merespons serangkaian kritik ini, Jokowi mengatakan bahwa pernyataan para guru besar sejumlah universitas merupakan bagian dari hak demokrasi.

"Ya itu hak demokrasi. Setiap orang boleh berbicara, berpendapat. Silakan," ujar Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (2/2/2024).

Baca juga: Ketua KPU Terbukti Langgar Etik, Apa Dampaknya bagi Pemilu 2024?

Di sisi lain, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai, Jokowi hanya menyampaikan respons normatif ketika mengutarakan pernyataan tersebut.

Jika Presiden menganggap sikap para sivitas akademika tidak substansial, maka ia akan menganggap itu sebagai angin lalu.

Namun, jika hal ini dianggap penting, Jokowi seharusnya mengambil sikap nyata.

"Kalau menganggap ajakan-ajakan dan suara dari profesor-profesor itu penting, ya harus sejalan, jangan ada upaya-upaya yang memang menabrak jalur-jalur demokrasm," kata Adi kepada Kompas.com, Sabtu (3/2/2024).

Menurut Adi, pernyataan sikap sivitas akademika ini sebenarnya merupakan penebalan dari kritik yang telah lebih dulu disampaikan masyarakat sipil, mahasiswa, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengenai kondisi demokrasi di Indonesia.

Terlebih, para guru besar adalah opinion leader yang memiliki pemahaman dan informasi politik di atas rata-rata, serta kedalaman pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

"Kalau sudah guru besar yang bicara, ini ada level kedaruratan, ada darurat yang cukup serius yang mestinya harus disikapi," tandasnya.

(Sumber: Kompas.com/Yefta Christopherus Asia Sanjaya, Vitorio Mantalean, Fika Nurul Ulya | Editor: Rizal Setyo Nugroho, Icha Rastika, Novianti Setuningsih Fitria Chusna Farisa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Pesawat Boeing 757 Milik Donald Trump Menabrak Pesawat Komersial di Bandara Florida

Pesawat Boeing 757 Milik Donald Trump Menabrak Pesawat Komersial di Bandara Florida

Tren
4 Fakta Anak Bunuh Ibu di Sukabumi, Gunakan Garpu Tanah dan Tidur dengan Bercak Darah

4 Fakta Anak Bunuh Ibu di Sukabumi, Gunakan Garpu Tanah dan Tidur dengan Bercak Darah

Tren
Cuaca Panas, Hindari Pakai Baju Berbahan Ini agar Tak Bau Badan

Cuaca Panas, Hindari Pakai Baju Berbahan Ini agar Tak Bau Badan

Tren
KRIS BPJS Kesehatan Siap Diterapkan, Mungkinkah Iuran Dipukul Rata?

KRIS BPJS Kesehatan Siap Diterapkan, Mungkinkah Iuran Dipukul Rata?

Tren
11 Daerah Larang dan Batasi 'Study Tour', Imbas Kecelakaan Bus di Subang

11 Daerah Larang dan Batasi "Study Tour", Imbas Kecelakaan Bus di Subang

Tren
Pemerintah Wajibkan Seluruh Penduduk Ikut BPJS Kesehatan, Bagaimana jika Tidak Mampu?

Pemerintah Wajibkan Seluruh Penduduk Ikut BPJS Kesehatan, Bagaimana jika Tidak Mampu?

Tren
Berstatus DPO, Begini Ciri 3 Buronan Kasus Pembunuhan Vina Cirebon

Berstatus DPO, Begini Ciri 3 Buronan Kasus Pembunuhan Vina Cirebon

Tren
Beda Penampilan Sandra Dewi Saat Diperiksa Kali Pertama dan Sekarang

Beda Penampilan Sandra Dewi Saat Diperiksa Kali Pertama dan Sekarang

Tren
Mengenal Spesies Ikan Baru di Pegunungan Meratus, Punya Penis di Bawah Kepala

Mengenal Spesies Ikan Baru di Pegunungan Meratus, Punya Penis di Bawah Kepala

Tren
Musim Haji 2024, Begini Prakiraan Cuaca di Arab Saudi dan Cara Mengeceknya

Musim Haji 2024, Begini Prakiraan Cuaca di Arab Saudi dan Cara Mengeceknya

Tren
OpenAI Luncurkan GPT-4o secara Gratis di ChatGPT, Apa Itu?

OpenAI Luncurkan GPT-4o secara Gratis di ChatGPT, Apa Itu?

Tren
Mengenal PTN BH, Keistimewaan, dan Daftar Kampusnya

Mengenal PTN BH, Keistimewaan, dan Daftar Kampusnya

Tren
4 Obat Ini Tak Boleh Diminum Bersama Jahe, Ada Hipertensi dan Diabetes

4 Obat Ini Tak Boleh Diminum Bersama Jahe, Ada Hipertensi dan Diabetes

Tren
Pendaftaran Poltekip dan Poltekim Kemenkumham 2024: Jadwal, Persyaratan, dan Cara Daftarnya

Pendaftaran Poltekip dan Poltekim Kemenkumham 2024: Jadwal, Persyaratan, dan Cara Daftarnya

Tren
Jarang Diketahui, Ini 6 Efek Samping Terlalu Banyak Minum Es Teh Saat Cuaca Panas

Jarang Diketahui, Ini 6 Efek Samping Terlalu Banyak Minum Es Teh Saat Cuaca Panas

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com