LEMBAGA pendidikan, secara sosiologis, meniscayakan adanya beberapa entitas yang saling berinteraksi.
Pertama, entitas organisasi sekolah. Organisasi sekolah adalah lembaga yang menaungi proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat visi, misi, dan tujuan organisasi tersebut.
Organisasi sekolah merupakan institusi dengan pranata-pranata baku yang kemudian menjadikan seseorang yang bergabung di dalamnya dianggap mendapatkan proses pembelajaran.
Secara historis organisasi sekolah sudah berlangsung sangat lama. Setidaknya beberapa yang bisa diidentifikasi adalah apa yang dilakukan oleh bangsa Yunani dengan Academi.
Academi adalah organisasi sekolah karena di dalamnya mengelola suatu proses pembelajaran.
Kedua, entitas kurikulum pembelajaran. Kurikulum merupakan panduan baku yang ditetapkan oleh lembaga untuk mencapai tujuan utama dari proses pembelajaran.
Pada suatu negara, kurikulum diawasi oleh para ahli yang dinaungi secara langsung atau tidak langsung oleh Kementerian Pendidikan (atau sejenisnya).
Kementerian tersebut merupakan representasi dari bagaimana visi-misi bangsa dalam mengelola proses pendidikan yang ada di negaranya.
Visi-misi itu kemudian diterjemahkan dalam berbagai praktik belajar mengajar pada setiap institusi yang bernama sekolah pada berbagai level (dasar, menengah, dan pendidikan tinggi).
Tentu saja setiap level memiliki bobot dan kualitas serta kualifikasinya masing-masing tergantung dari maksud dan tujuannya.
Ketiga, entitas guru. Guru secara sederhana bisa dimaknai sebagai sosok yang melakukan transfer ilmu pengetahuan dan kecakapan formal pada siswanya.
Karena dia memiliki kuasa untuk mentransfer ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia juga harus mendapatkan beberapa predikat yang menunjukkan kompetensi dan keahliannya.
Di Indonesia, kompetensi dan keahlian direpresentasikan dalam suatu bukti formal sertifikat kompetensi, yang harus dimiliki oleh setiap orang yang memiliki keahlian tersebut.
Hal ini tentu dimaksudkan agar setiap mereka yang diberi beban untuk menjadi pengajar atau guru memiliki standar yang disepakati pada satu kompetensi tertentu.
Hal ini dimaksudkan agar tujuan dari pembelajaran bisa tercapai. Sebab tidak mungkin tujuan dari suatu proses pembelajaran pada institusi pendidikan bisa dicapai dengan baik jika subjek yang harus menyampaikan pelajaran tersebut dianggap tidak memiliki kompetensi di bidangnya.