Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Generasi Tanpa Guru

Pertama, entitas organisasi sekolah. Organisasi sekolah adalah lembaga yang menaungi proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat visi, misi, dan tujuan organisasi tersebut.

Organisasi sekolah merupakan institusi dengan pranata-pranata baku yang kemudian menjadikan seseorang yang bergabung di dalamnya dianggap mendapatkan proses pembelajaran.

Secara historis organisasi sekolah sudah berlangsung sangat lama. Setidaknya beberapa yang bisa diidentifikasi adalah apa yang dilakukan oleh bangsa Yunani dengan Academi.

Academi adalah organisasi sekolah karena di dalamnya mengelola suatu proses pembelajaran.

Kedua, entitas kurikulum pembelajaran. Kurikulum merupakan panduan baku yang ditetapkan oleh lembaga untuk mencapai tujuan utama dari proses pembelajaran.

Pada suatu negara, kurikulum diawasi oleh para ahli yang dinaungi secara langsung atau tidak langsung oleh Kementerian Pendidikan (atau sejenisnya).

Kementerian tersebut merupakan representasi dari bagaimana visi-misi bangsa dalam mengelola proses pendidikan yang ada di negaranya.

Visi-misi itu kemudian diterjemahkan dalam berbagai praktik belajar mengajar pada setiap institusi yang bernama sekolah pada berbagai level (dasar, menengah, dan pendidikan tinggi).

Tentu saja setiap level memiliki bobot dan kualitas serta kualifikasinya masing-masing tergantung dari maksud dan tujuannya.

Ketiga, entitas guru. Guru secara sederhana bisa dimaknai sebagai sosok yang melakukan transfer ilmu pengetahuan dan kecakapan formal pada siswanya.

Karena dia memiliki kuasa untuk mentransfer ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia juga harus mendapatkan beberapa predikat yang menunjukkan kompetensi dan keahliannya.

Di Indonesia, kompetensi dan keahlian direpresentasikan dalam suatu bukti formal sertifikat kompetensi, yang harus dimiliki oleh setiap orang yang memiliki keahlian tersebut.

Hal ini tentu dimaksudkan agar setiap mereka yang diberi beban untuk menjadi pengajar atau guru memiliki standar yang disepakati pada satu kompetensi tertentu.

Hal ini dimaksudkan agar tujuan dari pembelajaran bisa tercapai. Sebab tidak mungkin tujuan dari suatu proses pembelajaran pada institusi pendidikan bisa dicapai dengan baik jika subjek yang harus menyampaikan pelajaran tersebut dianggap tidak memiliki kompetensi di bidangnya.

Keempat, entitas siswa. Siswa harus dimaknai dalam konteks yang lebih luas, yaitu mereka yang belajar sejak PAUD sampai perguruan tinggi.

Posisi siswa dalam konteks lembaga pendidikan demikian sentral karena pusat perputaran dari lembaga terletak pada siswa.

Sekian lama keempat entitas ini berinteraksi secara intens menerjemahkan seluruh visi dan misi pendidikan suatu bangsa.

Sampai kemudian saat ini ketika era internet dan digitalisasi merambah pada berbagai bidang, maka setiap entitas dalam lembaga pendidikan banyak terancam eksistensi dan perannya.

Salah satu yang sangat signifikan ancamannya adalah ketika realitas digital akan mensubstitusi, bahkan mendisrupsi posisi dan peran guru.

Tentu saja guru dalam konteks ini harus dipahami secara sosial budaya, di mana mereka yang disebut guru adalah orang-orang yang memiliki kapasitas dan profesi mengajar.

Mengapa entitas guru bisa dikatakan posisinya terancam?

Seiring dengan hadirnya teknologi modern saat ini, beberapa hal yang kemudian berkaitan dengan kapasitas dan kemampuan seorang guru bisa diganti oleh produk buatan manusia yang bernama kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).

Pada beberapa hal, AI sudah terbukti cukup efektif menggantikan pekerjaan-pekerjaan berbasis pelayanan seperti ticketing, design, menyusun referensi, dan lain-lain.

Nah, hal yang saat ini mulai dirambah oleh AI adalah proses belajar. Proses belajar cukup potensial jika siswa-siswa belajar hanya kepada AI.

Terdapat beberapa argumen mengapa potensi digantikannya guru oleh AI demikian besar. Pertama, AI bisa mengajarkan seseorang atau mentransformasi ilmu pengetahuan tertentu secara objektif.

Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki perasaan/emosi sehingga bisa menilai kapasitas seseorang jauh lebih objektif daripada seorang guru biasa.

Kedua, saat ini AI sudah mampu menjawab berbagai kebutuhan yang sifatnya ilmu pengetahuan dan skill tertentu yang dibutuhkan oleh siswa, serta memiliki keunggulan untuk bisa menjadi mitra belajar secara lebih efisien, baik secara biaya dan waktu.

Bahkan dengan AI, proses belajar bisa lebih efektif karena AI bisa hadir pada ruang yang terbatas seperti gawai. Siswa pembelajar bisa sangat mudah mempelajari apa saja dan di mana saja pada alat tersebut.

Ketiga, karena AI bukan manusia, maka ketika proses pembelajaran, ia tidak akan menunjukkan sisi emosional ketika seorang siswa belajar lamban atau kekurangan, ataupun hal-hal negatif lain dalam proses pembelajaran.

Bahkan AI bisa menampilkan dirinya sebagai seorang mentor yang bisa mendemonstrasikan sesuai dari keinginan siswa. Kemampuan AI mempersonalisasikan proses pembelajaran bisa sangat menarik bagi siswa.

Maka berdasarkan penjelasan di atas, dalam beberapa waktu ke depan bisa jadi generasi-generasi muda yang selama ini melakukan mobilitas vertikal secara sosial budaya melalui institusi pendidikan, yang di dalamnya ada entitas guru, menjadi tidak diperlukan lagi.

Bisa jadi generasi ini hanya akan daftar ke institusi atau lembaga pendidikan agar secara formal dia bisa tercatat sebagai siswa saja. Sementara proses pembelajaran yang dilakukan olehnya cukup belajar bersama AI.

Terlebih lagi sistem pendidikan sekarang basisnya adalah di mana seseorang akan diukur sebagai pelajar dan mendapatkan pelajaran tidak cukup pada nilai-nilai yang tertera pada lembaran seperti raport.

Seseorang akan dianggap memiliki kecakapan dan skill ketika dia mampu dengan baik mentransformasikan keahliannya di depan orang lain atau di depan user.

Sehingga dari situ kemudian dia bisa melakukan mobilitas vertikal dengan pengetahuan dan kecakapan yang dimilikinya.

Lalu apakah fungsi dan guru masih diperlukan dalam konteks ini? Tentu saja apa yang dijelaskan di atas, sebagian masih berupa potensi.

Jika saja para guru tidak memiliki kemauan meningkatkan kapasitas dan ilmu pengetahuannya, serta memiliki kecermatan membaca zaman, maka bisa jadi ke depan “Generasi tanpa Guru” akan semakin bertumbuh besar dan akhirnya dominan.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/07/31/134011165/generasi-tanpa-guru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke