Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Soekarno dan Gerakan Hidup Baru di Era Post Truth

Kompas.com - 09/06/2023, 11:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KITA, bangsa Indonesia, patut bersyukur dikaruniai pendiri bangsa yang hebat. Pemikirannya, juga tindakannya. Semangat, keberanian, dan dedikasinya. Satu di antaranya adalah Soekarno.

Lahir 6 Juni 1901, dan wafat 21 Juni 1970. Pidatonya tentang Pancasila dilakukan pada 1 Juni 1945. Karena serba Juni, sebagian masyarakat menyebut Juni sebagai “Bulan Bung Karno”.

Terlalu banyak jejak historis Bung Karno yang menarik dan aktual diziarahi. Satu di antaranya adalah seruannya tentang “gerakan hidup baru” yang disampaikan pada 1957 sebagai bagian dari gerakan revolusi mental.

Seruan tersebut terasa aktual sekali tatkala kita menghadapi ekosistem (baru) digital dewasa ini. Ekosistem digital akan membentuk realitas baru. Ada hal yang patut kita cermati bersama menyongsong Pemilu 2024.

Bermental kecil

Kala itu, tahun 1950-an, kita menghadapi masalah rumit. Perbedaan kepentingan dan pertikaian antarkelompok politik membuat negara dan pemerintahan tidak kondusif.

Pemilu 1955 memang berhasil membentuk Konstituante, badan atau dewan perwakilan yang bertugas membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia.

Konstitusi baru itu dibutuhkan untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Undang-undang dasar ini dipakai sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949.

Konstituante mulai bersidang pada November 1956. Namun, hingga 1958, Konstituante tidak berhasil menjalankan tugasnya.

Perdebatan tak kunjung menemukan kesepakatan. Bung Karno lalu mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945.

“Gerakan hidup baru” ditawarkan oleh Bung Karno sebagai bagian dari gerakan revolusi mental. Menurut Bung Karno, dua fase dari tiga fase revolusi bangsa telah dilalui. Dua fase itu adalah fase revolusi fisik (1945-1949) dan fase survival (1950-1955).

Satu fase lagi menghadang sebagai tantangan, yakni fase investasi. Kata Bung Karno, seperti dikutip Latif (2020), “Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment.”

Bung Karno menyadari bahwa kolonialisme telah membentuk “mentalitas jajahan”. Mentalitas rendah diri, penuh perasaan tak berdaya, tak percaya diri. Kata Bung Karno, bangsa besar, namun bermental kecil. Suka geger urusan sepele.

Potensi hebat kita pada masa lampau tinggal cerita. Pramoedya Ananta Toer melukiskannya dengan sangat bagus melalui karyanya yang berjudul Arus Balik.

Di Arus Balik maestro sastra Indonesia itu bertutur tentang kebesaran Nusantara pada masa kejayaan Majapahit. Nusantara merupakan kesatuan maritim. Kerajaan laut terbesar di bumi. Terbesar pula kapal-kapalnya. Juga bandar-bandarnya.

Maka, arus bergerak dari bumi selatan ke utara. Kapal-kapalnya, manusianya, adab perbuatannya. Juga cita-citanya. Semua bergerak dari Nusantara. Di bagian selatan ke “atas angin” di bagian utara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com