Era post-truth ditengarai pula memberi ruang pada pertumbuhan radikalisme. Paham-paham radikal disebarluaskan tidak lagi melalui buku-buku dan literasi produk mesin cetak, tapi menggunakan media sosial.
Kecepatan dan kemudahan akses informasi membuat media sosial efisien dan efektif buat penyebarluasan konten-konten radikal.
Dulu awal abad XX, melalui surat kabar (produk teknologi mesin cetak), primordialisme mencair dalam komunitas “bangsa” (nation).
Di era post-truth, melalui media sosial, saya melihat justru primordialisme potensial tumbuh kembali. Pengelompokan agama, ras, etnis, dan primordial yang lain, tumbuh pesat. Bermula dari dunia maya, lalu nyata.
Sangat mungkin bercumbu dengan kepentingan politik. Sangat mungkin pula berkolaborasi dengan modal/kapital. Potensial mengancam persatuan-kesatuan bangsa, integrasi bangsa.
Serupa meski tak sama. Soekarno menyerukan “gerakan hidup baru” karena bayang-bayang disintegrasi pada dekade 1950-an pasca-Pemilu 1955.
Kini, seruan itu terasa nyaring dan aktual juga karena bayang-bayang disintegrasi pada era post-truth menyongsong Pemilu 2024.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.