Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Soekarno dan Gerakan Hidup Baru di Era Post Truth

Kompas.com - 09/06/2023, 11:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lalu, arus berbalik. Utara menyerbu selatan. Dengan kapal-kapalnya yang lebih besar. Terus-menerus. Utara lalu menguasai jalur rempah. Menguasai urat nadi kehidupan Nusantara.

Nusantara terdesak. Terpecah-pecah. Bandar-bandarnya sepi. Kekalahan demi kekalahan menjadi dongeng baru.

“Kapal kita makin lama makin kecil. Seperti kerajaannya. Kapal besar hanya bisa dibuat oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara...,” seru Wiranggaleng, tokoh utama di Arus Balik.

Karena itu, Bung Karno meyakini bahwa investasi keterampilan dan material tanpa investasi mental-karakter tak akan menghasilkan persatuan-kesatuan dan kemakmuran bersama.

Tanpa kekayaan mental, upaya pemupukan keterampilan dan material hanya akan melanggengkan penjajahan.

Gerakan hidup baru dimaksudkan sebagai pelaksanaan pembangunan mental-karakter. Yang tak lain adalah gerakan revolusi mental: perombakan cara berpikir, cara kerja, cara hidup, yang merintangi langkah bangsa Indonesia dalam menggapai cita-cita kemerdekaan.

Era Post Truth

Kini ekosistem baru berbasis teknologi digital adalah keniscayaan. Teknologi baru ini juga menawarkan literasi yang berbeda dengan era mesin cetak. Yang memadukan antara aksara, suara, dan gambar hidup (video).

Medianya pun berubah. Kini, media berjejaring nirkabel dalam satu piranti yang serba digital. Ada Youtube, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, Telegram, Tik Tok, dan lain, yang disebut media sosial.

Cara kerja berubah. Nilai-nilai pun berubah. Sejumlah kalangan percaya, ekosistem digital juga menjanjikan bentuk-bentuk komunitas baru. Pola hubungan lama yang hirarkis, hegemonik, dan eksploitatif, akan runtuh.

Pola hubungan sosial akan bergeser ke pola “simpul jala ikan”. Tak ada lagi pusat-pinggir, atas-bawah. Teknologi digital akan menyediakan lanskap baru yang memungkinkan pertumbuhan banyak subjek, banyak pusat, yang terhubung secara kolaboratif.

Dari sudut ini tentu saja sangat menjanjikan masa depan kita sebagai bangsa. Namun, dari sudut lain, terbentuk pula masalah krusial, yang membutuhkan perhatian serius.

Media sosial dengan segenap kecepatan dan kecanggihannya ternyata juga membuat kita tak punya kesempatan dan kemampuan memastikan apakah informasi yang hadir itu hoaks atau faktual. Para ahli ilmu-ilmu sosial menyebutnya “post-truth”.

Sebuah keadaan tatkala antara story dan history, antara fiksi dan fakta, bercampur baur tak jelas batasnya.

Penanda makin kehilangan petanda. Kata makin tak bermakna. Fakta makin tak berdaya. Kalah dengan emosi dan keyakinan personal.

Jangan-jangan era seperti ini kebangsaan pun terancam kehilangan rujukan. Proses sosial yang timbul bukan menguatkan makna "kebangsaan", tapi justru mengarah pada "kebangkrutan".

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com