Di sisi lain, sejak 1962, hampir ¾ undang-undang dasar (UUD) di seluruh dunia menetapkan ketentuan hak dan tanggungjawab lingkungan hidup yang sehat, bersih dan aman, dan memasukkan hak-hak konstitusional lingkungan ke dalam undang-undang (UU), regulasi, dan peraturan daerah.
Awal abad 21, kita baca data 360 pengadilan dan tribunal lingkungan pada 42 negara (Pring et al, 2010: 12) untuk menyelesaikan sangketa-sangketa lingkungan khususnya lahan, air, hutan, dan sumber daya alam di berbagai negara.
Namun, dua dekade awal abad 21 menunjukkan lonjakan kemerosotan daya-sangga lingkungan hidup, perubahan iklim, pemanasan global dan ledakan pertumbuhan penduduk. Tren degradasi lingkungan dan sustainabilitas lingkungan sangat menentukan masa depan lapangan kerja, kegiatan ekonomi, dan survival manusia di berbagai negara.
Kegiatan ekonomi dan lapangan kerja banyak negara bergantung pada ekstraksi sumber-sumber daya alam. Misalnya, kira-kira 10 persen produk domestik bruto (PDB) dari 40 negara, dipasok dari sumber daya alam (World Bank, 2017).
Tahun 2014, sekitar 1,2 miliar lapangan kerja atau 40 persen lapangan kerja dunia terserap pada industri-industri yang sangat bergantung pada ekstraksi sumber-sumber alam.
Dewasa ini, penduduk dunia menggunakan sumber daya dan memproduksi sampah 1,7 kali lebih besar dari kemampuan regenerasi dan daya-serap planet Bumi (Global Footprint Network, 2017). Demokrasi lamban antisipasi atau cegah berbagai krisis ini.
Roy Morrison merilis buku berjudul Ecological Democracy tahun 1995. Buku ini mengurai tren demokrasi-demokrasi lingkungan yang lahir dari masyarakat lingkungan-hidup (ecological society), misalnya sistem Mondragon Cooperative di Spanyol, Seikatsu Cooperative Clubs di Jepang, dan Coop Atlantic di Kanada.
Morrison membayangkan masyarakat-masyarakat ekologis di berbagai negara berpartisipasi dalam proses demokrasi. Targetnya ialah kontrol masyarakat pada koperasi, keuangan, transisi sistem energi, demiliterisasi, dan lain-lain. Dari sini bakal lahir benih dan embrio demokrasi-lingkungan.
Profesor Randolph T Hester dari University of California, Berkeley (AS) merilis buku Design for Ecological Democracy tahun 2010. Hester tidak mendefinisi demokrasi-lingkungan, kecuali menyebut bahwa demokrasi-lingkungan adalah sinergi kekuatan ilmu-ilmu lingkungan-hidup dan demokrasi-partisipatif, misalnya tata-kelola lingkungan kota-kota.
Demokrasi mestinya memanfaatkan momentum revolusi hak-hak lingkungan rakyat awal abad 21 dan pertumbuhan sistem peradilan lingkungan (environmental courts and tribunals) pada berbagai negara.
Baca juga: Laporan Tahunan Komnas HAM, Demokrasi Indonesia Alami Kemunduran di Era Jokowi
Demokrasi lingkungan hanya dapat lahir-tumbuh ketika hak-hak dasar rakyat bidang lingkungan hidup diakui, dijamin, dan dilindung oleh hukum dan pemerintahan.
Romand Coles (2016) dalam bukunya Radical and Ecological Democracy in Neoliberal Times, menulis, “As neoliberal capitalism destroys democracy, commonwealth, and planetary ecology, the need for radically rethinking and generating transformative responses to these catastrophes is greater than ever.” Jadi, kapitalisme fosil dan ideologi neo-liberal merusak demokrasi, kemakmuran bersama, dan ekologi planet Bumi.
Kini banyak negara telah mengakui, menjamin, dan melindung hak lingkungan. Indonesia memasukkan hak dan tanggungjawab lingkungan ke dalam konstitusi.
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menetapkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menetapkan : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”