Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awal Mula Shalat Idul Fitri Digelar di Lapangan dan Alasannya

Kompas.com - 19/04/2023, 10:30 WIB
Alinda Hardiantoro,
Farid Firdaus

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Polemik terkait pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan sempat mengemuka menjelang Lebaran tahun ini.

Polemik tersebut muncul setelah Pemerintah Kota Sukabumi dan Pekalongan disebut tidak mengizinkan penggunaan lapangan milik pemda untuk pelaksanaan shalat Id pada Jumat (21/4/2023). 

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, persoalan tersebut sudah selesai.

"Sudah diselesaikan ya. Pertama yang di Sukabumi itu saya kira hanya salah persepsi publik. Sama dengan yang di Pekalongan, saya sudah turun tangan ke sana, koordinasi dengan Kemenag dan pemda,” katanya dikutip dari Kompas.com Selasa (18/4/2023).

Hari raya Idul Fitri pada tahun ini berpotensi berbeda. PP Muhammadiyah telah menetapkan Lebaran 2023 jatuh pada Jumat, 21 April 2023.

Sementara pemerintah baru akan menggelar sidang isbat untuk menentukan 1 Syawal 1444 H pada Kamis (20/4/2023).

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi Idul Fitri 2023 akan berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah.

Baca juga: 2033 Umat Islam Bisa 3 Kali Shalat Id, Berikut Ini Penjelasannya

Awal mula shalat id di lapangan

Pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan atau tanah lapang bukan hal yang baru.

Pada Idul Fitri tahun-tahun sebelumnya, shalat Id di sejumlah daerah digelar di lapangan.

Dilansir dari laman Muhammadiyah, shalat Id di tanah lapang pertama kali dilakukan oleh Muhammadiyah pada 1926 di alun-alun utara Keraton Yogyakarta.

Mulanya, menggelar shalat Idul Fitri di tanah lapang tidak lazim dilakukan dan mendapat pertentangan.

Namun, kini pelaksanaan shalat Id di lapangan telah diterima dan menjadi hal yang lumrah.

Baca juga: Lebaran Berpotensi Berbeda, Bolehkah Shalat Idul Fitri Dua Kali?

Alasan pelaksanaan shalat id di lapangan

Masih dari sumber yang sama, pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan merujuk pada hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya.

Dikutip dari Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2019), keputusan itu bermula dari kritikan seorang tamu asal negeri India pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim antara 1923-1933.

Saat itu, tamu tersebut memprotes mengapa Muhammadiyah menggelar shalat Id di Masjid Keraton Yogyakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com