Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mukhijab
Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Tanda Kematian Media di Kelas Reportase

Kompas.com - 11/04/2023, 14:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA semester genap 2023 ini, saya mengajar mata kuliah Reportase dan Investigasi yang diikuti 23 mahasiswa serta Manajemen Media (10 mahasiswa) pada program studi Ilmu Komunikasi.

Saya senang menerima tugas ekstra dari program studi itu karena mata kuliah tersebut tidak asing bagi saya, bahkan menyatu dengan profesi saya sebelumnya sebagai jurnalis.

Dalam mengenalkan pengetahuan dan praktik reportase serta manajemen media, latar belakang ini menjadi pintu gerbang materi kuliah. Tujuannya memantik peserta kuliah agar tertarik dengan mata kuliah ini. Mata kuliah ini juga masih sejalur dengan keilmuan saya, Sosiologi Media.

Baca juga: Pengertian, Jenis-Jenis, dan Contoh Iklan Media Cetak

Gayung bersambut. Para mahasiswa antusias ikut kuliah. Transfer ilmu pengetahuannya dikemas dengan metode perpaduan teori dan praktik. Pembicaraan awal dalam kuliah berkaitan bentuk-bentuk media, yaitu media konvensional (media cetak, radio, dan televisi), media baru (media digital), serta media sosial.

Mereka menyatakan tidak asing dengan bentuk-bentuk media tersebut. Para mahasiswa usianya pada kisaran 19-22 tahun atau kelahiran tahun 2000 dan sesudahnya.

Tidak Lagi Membaca Media Cetak

Saya mengorek sejauh mana pengetahuan mereka tentang media cetak. Semuanya mengaku mengenal media cetak tetapi ‘tidak dekat” dengan media cetak.

Seorang mahasiswa mengatakan, dia kadang-kadang baca media cetak lokal di daerah asalnya saat masih di Bandung, Jawa Barat. 

“Saya kadang meminjam media cetak itu dari tetangga, lalu membaca beberapa saat berita olahraga atau lainnya,” kata mahasiswa itu.

Mereka mengatakan, jika ingin mengetahui informasi tertentu, mereka membaca di laman (websiste) tertentu melalui ponsel pintar miliknya.

Apakah informasi bacaan itu tentang berita-berita aktual?

“Bacaannya tidak secara khusus berita aktual, material bacaan acak,” jawab mereka.

Saya memberitahu perpustaan kampus menyediakan bacaan dalam bentuk media cetak. Saya sarankan mereka membaca di sana untuk mengenali bentuk berita, iklan, dan informasi lain.

Sebagian besar dari mereka mengaku tidak tahu bahwa kampus berlangganan media cetak.

Apakah mau ke perpustakaan untuk membaca media cetak? Mereka tidak menjawab tegas, hanya saling melirik antar mereka.

Petugas perpustakaan kampus menceritakan, koran dan majalah jarang disentuh dan dibaca para mahasiswa. Ketika saya menyambangi perpustakaan, sejumlah media cetak tergeletak di atas meja dalam kondisi rapi. Kertas korannya tidak lusuh, tanda tidak ada orang yang menyentuhnya.

Lalu, bagaimana hasil liputan para mahasiswa itu? Di kelas Reportase, setiap mahasiswa harus mengusulkan topik dan membuat rencana liputan.

Dari usulan yang mereka tawarkan, isu-isunya bervariasi. Karakter informasi yang diusulkan umumnya tidak bersentuhan dengan isu-isu aktual yang dipublikasikan media mainstream. Sebagian kecil saja yang mengikuti isu di media arus utama.

Usulan rencana liputan para mahasiswa seperti soal indekos harian, nyadran, buka puasa bersama, dan isu-isu yang bersifat personal. 

Kegalauan

Lalu, bagaimana mereka memahami isu aktual, yang trending topic di masyarakat apabila tidak pernah membaca berita media? 

Suasana di kelas itu saya pahami sebagai miniatur situsi pasar media cetak pada era media digital saat ini. Sebagai generasi milenial dan generasi z yang akrab dengan teknologi informasi, mereka tidak mengakses media cetak atau online atau e-paper.

Sikap mereka melengkapi profil pasar media cetak saat ini di kalangan generasi milinial dan generasi z.

Saya berpikir, mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi yang ingin menjadi jurnalis saja tidak tertarik untuk membaca media cetak, bagaimana mahasiswa ilmu sosial lainya, apalagi mahasiswa ilmu eksakta. Terselip perasaan galau dalam diri saya tentang mahasiswa tidak tertarik membaca dan mengakses media cetak.

Saya merasakan tanda-tanda kematian media cetak itu ada di ruang kelas, tempat saya mengajarkan tentang reportase dan manajemen media. Sebagai reporter yang bekerja untuk media cetak selama 25 tahun, situasi ini sangat membuat dada terasa nyesek.

Mengapa tanda-tanda kematian media yang saya cintai itu tergambar dengan jelas di depan kelas di mana saya menyampaikan tentang bagaimana melakukan news gathering, bagaimana idealnya mereka menjadi jurnalis, bagaimana mengelola media? 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com