Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dihantui Resesi Seks, China Beri Cuti Nikah 30 Hari

Kompas.com - 25/02/2023, 14:30 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejumlah provinsi di China memberikan cuti selama 30 hari kepada pengantin baru.

Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong pernikahan dan meningkatkan angka kelahiran yang terus menurun. 

Pemberian cuti hingga 30 hari diharapkan bisa jadi insentif kepada warga China di tengah kekhawatiran resesi seks yang melanda China dan sejumlah negara tetangga seperti Korea dan Jepang. 

Baca juga: Jepang dan Korsel Alami Resesi Seks, Apa Penyebabnya?

Cuti pernikahan untuk tingkatkan kehamilan

Dikutip dari Reuters, Provinsi Gansu dan provinsi pengahasil batu bara Shanxi kini memberikan cuti pernikahan 30 hari.

Sementara itu, Provinsi Shanghai memberikan cuti pernikahan 10 hari dan Provinsi Sichuan masih hanya tiga hari.

"Memperpanjang cuti menikah adalah salah satu cara efektif untuk meningkatkan tingkat kesuburan," kata dekan Institut Penelitian Pengembangan Sosial, Southwestern University of Finance and Economics, Yang Haiyang.

Menurut Yang, sejumlah kebijakan diperlukan untuk mencegah resesi seks, termasuk subsidi perumahan dan cuti melahirkan bagi laki-laki.

Populasi China dilaporkan turun tahun lalu untuk pertama kalinya dalam enam dekade.

Ini merupakan titik balik yang diperkirakan akan menandai dimulainya periode penurunan panjang.

Tahun lalu, China mencatat tingkat kelahiran terendah, yaitu 6,77 kelahiran per 1.000 orang.

Sebagian besar penurunan adalah hasil dari kebijakan "satu anak" yang diberlakukan antara tahun 1980 dan 2015.

Baca juga: Alami Resesi Seks, Jepang dan Korsel Akan Beri Subsidi Rumah Baru Pasutri

 

Resesi seks dan lonjakan biaya pendidikan anak

Selain itu, lonjakan biaya pendidikan juga membuat banyak orang China memilih hanya memiliki satu anak atau bahkan tidka memiliki anak. 

Pemerintah China sebelumnya juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi penurunan populasi ini.

Salah satunya adalah menawarkan subsidi keuangan dan tunjangan lain untuk keluarga.

Di beberapa kota, pemerintah menjanjikan subsidi untuk keluarga dengan tiga anak, sementara kota lain memberikan subsidi untuk mendorong warga membeli rumah dan mendorong orang berkeluarga.

Sayangnya, kebijakan itu kurang berhasil. Banyak pemuda tetap memilih untuk melajang, karena gaya hidup yang penuh tekanan dan tuntutan dalam kehidupan sehari-hari.

Para perempuan muda China juga lebih banyak berfokus mengejar karier dan kehidupan pribadinya, dibandingkan membangun keluarga.

Baca juga: Kepala BKKBN Bantah Indonesia Alami Resesi Seks, Apa Alasannya?

Resesi seks hantui Jepang dan Korea

Resesi seks adalah kondisi saat seseorang atau pasangan enggan memiliki anak, atau memilih untuk memiliki sedikit anak. Kondisi seseorang atau pasangan yang memilih tidak memiliki anak kerap disebut juga childfree. 

Dilansir dari The Guardian, saat ini gejala resesi seksi bisa dilihat dari banyak perempuan Jepang yang semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak.

Menurut mereka, menikah dan memiliki anak membutuhkan banyak biaya. Sementara di Jepang, banyak wanita harus berhenti bekerja begitu mereka hamil dan memikul beban pekerjaan rumah tangga dan tugas mengasuh anak.

Pada tahun 2021, jumlah kelahiran di Jepang mencapai 811.604, angka ini terendah sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada tahun 1899.

“Dulu saya berpikir saya akan menikah pada usia 25 tahun dan jadi seorang ibu pada usia 27 tahun,” kata Nao Iwai, seorang mahasiswa di Tokyo.

“Tetapi ketika saya melihat kakak perempuan tertua saya, yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun, saya takut memiliki anak," kata dia.

Iwai mengatakan, jika memiliki anak di Jepang, dan suami bekerja, maka ibu diharapkan berhenti dari pekerjaannya dan beralih menjadi ibu rumah tangga untuk menjaga anak.

"Saya hanya merasa sulit untuk membesarkan anak, secara finansial, mental dan fisik," ujar Iwai.

Usia pernikahan terus meningkat

Profesor Showa Women's University, Naohiro Yashiro mengatakan, kemungkinan faktor keengganan wanita Jepang untuk menikah adalah meningkatnya biaya pernikahan.

Menurut dia, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak perempuan muda yang memiliki upah yang sama dengan laki-laki.

Sehingga rata-rata masa pencarian pasangan mereka lebih lama.

Saat ini, rata-rata usia perkawinan pertama bagi perempuan adalah 29 tahun, jauh melampaui masa menikah di tahun 1980-an yakni 25 tahun, di mana saat itu sebagian besar perempuan hanya lulusan SMA.

Baca juga: Indonesia Berpotensi Alami Resesi Seks, Ini Dampaknya Menurut Sosiolog

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com