Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Kiamat Ekologis, Krisis yang Tidak Terasa

Kompas.com - 08/02/2023, 00:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 1859, Profesor John Tyndall, ilmuwan Irlandia, melakukan serangkaian penelitian yang pada akhirnya menghasilkan temuan terkait “efek rumah kaca”. Peneliti yang juga menemukan konsep penghamburan cahaya akibat partikel-partikel koloid tersebut, yang selanjutnya terkenal dengan sebutan “Efek Tyndall”, merupakan peletak tonggak pertama munculnya gagasan akan kesadaran perubahan iklim yang perlahan-lahan sedang menggerogoti dunia.

Sayangnya, konsep efek rumah kaca, pemanasan global, ataupun perubahan iklim ini, baru diangkat dan dibahas secara serius oleh masyarakat dunia 120 tahun kemudian. Sejak saat itu, berbagai konsensus yang diselenggarakan secara luas menjadikan fenomena perubahan iklim sebagai isu yang hangat untuk dibicarakan.

Baca juga: Efek Tyndall pada Sistem Koloid

Namun, 40 tahun sejak diskusi perubahan iklim mulai ramai dibicarakan di tingkat dunia, tepatnya sejak tahun 1980-an hingga saat ini, nyatanya kenaikan suhu permukaan bumi dan emisi karbon dari bahan bakar fosil justru belum juga berkurang secara signifikan.

Akibat belum menurunnya kurva emisi karbon dan kenaikan suhu bumi secara kontinyu hingga saat ini, para pemimpin dunia pun bereaksi. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden misalnya, menyebut bahwa krisis iklim sebagai “existential threat”.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, juga menyebut bahwa terkait hal ini, business as usual perlahan akan membunuh kita semua. Ia juga menekankan bahwa dunia saat ini sedang berada “di ambang jurang maut” akibat perubahan iklim.

Di kalangan ilmuwan Barat, peningkatan risiko kelangsungan hidup umat manusia akibat dari krisis iklim yang berkembang, di samping karena bayang-bayang nuklir atas konflik Rusia-Ukraina, membuat mereka menginisiasi dimajukannya “jam kiamat” sebagai bentuk metafora fenomena tersebut.

Berbagai Langkah Pemerintah Indonesia

Lalu, bagaimanakah reaksi pemimpin di Tanah Air kita? Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan bahwa perubahan iklim merupakan salah satu masalah krusial yang akan dihadapi seluruh negara di dunia. Pada Agustus 2022, Jokowi turut menyebut bahwa berdasarkan data World Meteorogical Organization (WMO) tahun 2021, dampak perubahan iklim di dunia semakin memburuk, di mana Bumi telah mengalami serangkaian suhu permukaan terpanas selama 7 tahun terakhir.

Baca juga: 5 Pertanyaan Paling Umum tentang Perubahan Iklim

Menurut Jokowi, hal ini jelas akan memengaruhi global supply chain dan produktivitas pangan yang dihasilkan baik dari petani maupun nelayan di Indonesia.

Sebagai bentuk tindak lanjut, pemerintah mengeluarkan berbagai rencana jangka pendek maupun panjang dalam upaya mengurangi emisi karbon hingga pencemaran lingkungan melalui kolaborasi beberapa kementerian.

Untuk itu, pemerintah menyatakan Indonesia akan berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 41 persen, dengan bantuan dana dari dunia internasional dan 29 persen dari sumber daya domestik, di bawah koordinasi Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut bahwa dana yang telah terkumpul di BPDLH sebesar 968,6 juta dolar AS atau sekitar Rp 14,52 triliun yang bersumber dari dana reboisasi kehutanan, World Bank, dan sebagainya. Dana tersebut ditegaskan tidak berada di dalam skema APBN, ataupun mekanisme pembahasan APBN.

Lantas, apakah dengan adanya komitmen dan sumber dana yang digadang-gadang pemerintah dapat mendukung upaya perubahan iklim di Indonesia menuju kondisi yang lebih baik dapat membuahkan hasil yang positif?

Masyarakat Masih Tak Peduli dengan Krisis Ekologi

Meskipun pemerintah sudah memiliki komitmen yang baik dalam mendukung penyelesaian permasalahan tersebut, agaknya komitmen yang sama justru belum muncul dari masyarakat Indonesia sendiri. Adanya krisis iklim dan lingkungan yang dirasakan dunia seolah menjadi isu yang tidak relevan bagi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Dari aspek transportasi, misalnya, saat ini pemerintah memberikan insentif sekaligus menyerukan penggunaan kendaraan listrik. Namun, pengamat otomotif yang juga akademisi ITB, Agus Purwadhi, menyebutkan bahwa motivasi kepemilikan electric vehicle (EV) di Indonesia lebih dilatarbelakangi oleh motif status sosial dan gaya-gayaan, dibanding sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Setidaknya, hal ini menjadi gambaran betapa kurang pedulinya masyarakat di berbagai kelas sosial terhadap pengurangan emisi karbon. Mindset utama masyarakat terkait pembeliaan dan kepemilikan kendaraan bermotor masih berkutat pada durabilitas produk serta ownership cost semata.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

Tren
Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Tren
Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Tren
Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Tren
Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com