Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kiamat Ekologis, Krisis yang Tidak Terasa

Sayangnya, konsep efek rumah kaca, pemanasan global, ataupun perubahan iklim ini, baru diangkat dan dibahas secara serius oleh masyarakat dunia 120 tahun kemudian. Sejak saat itu, berbagai konsensus yang diselenggarakan secara luas menjadikan fenomena perubahan iklim sebagai isu yang hangat untuk dibicarakan.

Namun, 40 tahun sejak diskusi perubahan iklim mulai ramai dibicarakan di tingkat dunia, tepatnya sejak tahun 1980-an hingga saat ini, nyatanya kenaikan suhu permukaan bumi dan emisi karbon dari bahan bakar fosil justru belum juga berkurang secara signifikan.

Akibat belum menurunnya kurva emisi karbon dan kenaikan suhu bumi secara kontinyu hingga saat ini, para pemimpin dunia pun bereaksi. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden misalnya, menyebut bahwa krisis iklim sebagai “existential threat”.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, juga menyebut bahwa terkait hal ini, business as usual perlahan akan membunuh kita semua. Ia juga menekankan bahwa dunia saat ini sedang berada “di ambang jurang maut” akibat perubahan iklim.

Di kalangan ilmuwan Barat, peningkatan risiko kelangsungan hidup umat manusia akibat dari krisis iklim yang berkembang, di samping karena bayang-bayang nuklir atas konflik Rusia-Ukraina, membuat mereka menginisiasi dimajukannya “jam kiamat” sebagai bentuk metafora fenomena tersebut.

Berbagai Langkah Pemerintah Indonesia

Lalu, bagaimanakah reaksi pemimpin di Tanah Air kita? Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan bahwa perubahan iklim merupakan salah satu masalah krusial yang akan dihadapi seluruh negara di dunia. Pada Agustus 2022, Jokowi turut menyebut bahwa berdasarkan data World Meteorogical Organization (WMO) tahun 2021, dampak perubahan iklim di dunia semakin memburuk, di mana Bumi telah mengalami serangkaian suhu permukaan terpanas selama 7 tahun terakhir.

Menurut Jokowi, hal ini jelas akan memengaruhi global supply chain dan produktivitas pangan yang dihasilkan baik dari petani maupun nelayan di Indonesia.

Sebagai bentuk tindak lanjut, pemerintah mengeluarkan berbagai rencana jangka pendek maupun panjang dalam upaya mengurangi emisi karbon hingga pencemaran lingkungan melalui kolaborasi beberapa kementerian.

Untuk itu, pemerintah menyatakan Indonesia akan berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 41 persen, dengan bantuan dana dari dunia internasional dan 29 persen dari sumber daya domestik, di bawah koordinasi Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut bahwa dana yang telah terkumpul di BPDLH sebesar 968,6 juta dolar AS atau sekitar Rp 14,52 triliun yang bersumber dari dana reboisasi kehutanan, World Bank, dan sebagainya. Dana tersebut ditegaskan tidak berada di dalam skema APBN, ataupun mekanisme pembahasan APBN.

Lantas, apakah dengan adanya komitmen dan sumber dana yang digadang-gadang pemerintah dapat mendukung upaya perubahan iklim di Indonesia menuju kondisi yang lebih baik dapat membuahkan hasil yang positif?

Masyarakat Masih Tak Peduli dengan Krisis Ekologi

Meskipun pemerintah sudah memiliki komitmen yang baik dalam mendukung penyelesaian permasalahan tersebut, agaknya komitmen yang sama justru belum muncul dari masyarakat Indonesia sendiri. Adanya krisis iklim dan lingkungan yang dirasakan dunia seolah menjadi isu yang tidak relevan bagi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Dari aspek transportasi, misalnya, saat ini pemerintah memberikan insentif sekaligus menyerukan penggunaan kendaraan listrik. Namun, pengamat otomotif yang juga akademisi ITB, Agus Purwadhi, menyebutkan bahwa motivasi kepemilikan electric vehicle (EV) di Indonesia lebih dilatarbelakangi oleh motif status sosial dan gaya-gayaan, dibanding sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Setidaknya, hal ini menjadi gambaran betapa kurang pedulinya masyarakat di berbagai kelas sosial terhadap pengurangan emisi karbon. Mindset utama masyarakat terkait pembeliaan dan kepemilikan kendaraan bermotor masih berkutat pada durabilitas produk serta ownership cost semata.

Pada Januari lalu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi, menjelaskan dalam event Peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup, bahwa bencana ekologis seperti banjir serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan bencana yang timbul dari hasil kontribusi manusia terhadap kerusakan lingkungan.

Sebanyak empat sektor usaha mulai dari perkebunan, pertambangan, infrastruktur, sampai pariwisata dinilai menjadi kontributor dalam bencana ekologis di Indonesia. Sektor perkebunan serta pertambangan menjadi dalang utama terjadinya berbagai bencana ekologis di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Masifnya asap dan substansi beracun lainnya yang timbul akibat aktivitas pertambangan, serta kebakaran hutan dan lahan gambut menahun menjadikan kita semakin dekat tidak hanya kepada bencana, tetapi juga kiamat ekologis.

Penyebabnya, selain faktor alam, tentu karena motif ekonomi dan ketamakan manusia akibat pembukaan lahan dan aktivitas industri ekstraktif yang sangat masif. Bila kita membicarakan salah satu penyebab kiamat ekologis di luar konteks pemanasan global, contohnya sampah, sebagian besar masyarakat Indonesia sangat terlihat tidak peduli.

Data tahun 2022 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut bahwa sebanyak 72 persen masyarakat Indonesia tidak peduli terhadap sampah. Sampah sebenarnya adalah permasalahan yang tidak terlalu berat penanganannya di negara-negara maju, namun perlu diperhatikan masalah partisipasi dari semua elemen masyarakat agar prosesnya berjalan secara baik.

Kebiasaan kecil yang berdampak besar, seperti budaya buang sampah di tempatnya dan memilah antara organik serta anorganik, terasa seperti pelajaran anak SD yang harus terus digaungkan ulang hingga ke generasi tua masyarakat Indonesia.

Tak heran, pencemaran laut dan sungai-sungai akibat sampah di berbagai wilayah di Indonesia masih terus terjadi. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa seberapa pun canggihnya pemerintah membuat regulasi untuk mencegah dampak krisis lingkungan, semua akan percuma bila masyarakatnya tidak memiliki komitmen yang sama.

Akibat dari keterlenaan masyarakat di tengah berbagai permasalahan lingkungan, kondisi kerusakan, pencemaran, dan perubahan iklim saat ini yang terjadi, tanpa kita sadari, seolah tidak terasa nyata dan hanya sebatas kewajaran semata.

Perlu ada suatu pendidikan karakter khusus peduli lingkungan yang menitikberatkan bahwa kepedulian manusia dapat mencegah kiamat ekologis yang diramalkan berbagai ilmuwan beberapa tahun ke depan. Sense of crisis tentang adanya ancaman kiamat ekologis di masa depan, harus lebih digaungkan agar krisis (yang sebenarnya logis dan sangat nyata) ini tidak lagi menjadi krisis yang tidak terasa.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/08/000700065/kiamat-ekologis-krisis-yang-tidak-terasa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke