Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Silvanus Alvin
Dosen

Silvanus Alvin adalah dosen di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan penulis buku Komunikasi Politik di Era Digital: dari Big Data, Influencer Relations & Kekuatan Selebriti, Hingga Politik Tawa.

Partai Digital di Indonesia, Mungkinkah?

Kompas.com - 09/01/2023, 14:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ERA digital saat ini memungkinkan suara dari tiap individu didengar. Contoh yang sering ditemui sehari-hari adalah orang memberi tanggapan atau menyatakan tingkat kepuasan (bersuara) setelah menikmati layanan jasa aplikasi daring. Ketika puas dengan layanan tertentu maka aplikasi seperti ojek daring akan mendapat rating bintang lima.

Namun sebaliknya, bila ada ketidakpuasan, maka tidak segan-segan rating bintang satu diberikan, plus komentar pedas. Baik atau buruk, suara tersebut akan terekam dan menjadi bahan pertimbangan bagi individu lain yang akan menggunakan layanan itu.

Situasi demikian, rasanya perlu diterapkan di ranah politik. Suhu politik di Indonesia sudah terasa "panas". Publik sudah mengetahui partai mana saja yang akan berkompetisi di Pemilu 2024 mendatang. Pemilu pun kerap diibaratkan sebagai pesta demokrasi.

Baca juga: Mayoritas Masyarakat Belum Tahu, Kenali 24 Partai Politik Peserta Pemilu 2024

Nah, pesta ini ditujukan kepada siapa? Rakyat sebagai pemegang hak suara kadangkala hanya dipandang sebagai obyek politik. Suara mereka diperebutkan tiap lima tahun. Bahkan, ada yang tidak mengenal politisi yang dipilihnya. Sudah tidak kenal, tidak tahu pula cara berkomunikasi dengan mereka. Lantas, pesta untuk siapa?

Perkembangan teknologi komunikasi yang masif saat ini tentunya harus dimanfaatkan tidak hanya oleh partai atau politisi, tetapi juga melibatkan rakyat secara menyeluruh.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana caranya? Jawaban paling sederhana yang bisa ditawarkan adalah transformasi partai-partai politik saat ini menjadi partai digital.

Partai Digital

Dr Paolo Gerbaudo dari King College London adalah pencetus konsep partai digital, partai yang tidak sekadar mengadopsi digitalisasi teknologi komunikasi. Ketika partai politik memiliki media sosial, belum bisa disebut partai politik.

Ide utama dari partai digital adalah menghadirkan partai yang menjunjung dan menerapkan filosofi digital baik dalam komunikasi internal maupun eksternalnya, dengan mengedepankan transparansi, disintermediasi, interaktif, mudah beradaptasi, dan respon cepat.

Baca juga: Optimalisasi Kerja Partai lewat Dunia Digital, PDI-P Luncurkan Aplikasi MPP Jelang HUT ke-50

Secara sederhana, partai digital berpusat pada partisipasi internal (anggota partai) serta eksternal (rakyat). Pola pikir partai digital harus progresif. Teknologi komunikasi tidak sebatas alat kampanye, melainkan harus menjadi medium untuk peningkatan kultur politik yang lebih demokratis.

Partai digital sudah hadir di Barat. Antara lain adalah Pirate Parties dari Swedia, the Five Star Movement dari Italia, the France Insoumise dari Prancis, Momentum dari Inggris, dan Podemos dari Spanyol.

Kehadiran partai digital itu berkaitan erat dengan keberadaan generasi muda, terutama dari kelompok milenial dan gen-z. Kedua kelompok ini memang punya karakteristik umum yang beririsan. Misalnya saja, kelompok ini memiliki pola pikir pragmatis, idealis, dan memiliki kecenderungan konfrontatif atau berani berdebat.

Keberanian untuk konfrontatif itu tidak lepas dari fenomena online all the time, di mana ada ketergantungan dari kedua kelompk tersebut untuk mencari tahu informasi baru secara daring. Hal ini berimplikasi pada level edukasi yang masuk dalam kategori mumpuni, karena mampu mengoperasikan teknologi komunikasi di atas level minimum.

Dalam buku The Digital Party: Political Organisation and Online Democracy, Gerbaudo (2019) menjelaskan, partai digital diminati generasi muda (generasi milenial dan gen-z). Salah satu daya tarik adalah inklusivitas yang tinggi, struktur organisasi ramping, dan minim birokrasi.

Pemikat lainnya adalah partai digital tidak terbangun dari ideologi tertentu. Sebaliknya, semangat pergerakan berasal atas isu per isu yang dirasakan penting untuk direspon. Dan, yang menjadi pembeda adalah keputusan untuk merespon isu tertentu berasal dari hasil penyerapan suara. Bisa dibilang ada referendum mini dalam tiap pengambilan keputusan.

Mungkin hal ini belum lazim di Indonesia, karena mayoritas partai politik lahir dari ideologi dan hidup hingga saat ini demi memperjuangkan ideologi masing-masing.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com