INDONESIA, yang harus diakui sebagai negeri paling berbahaya sejagat, memang menimbulkan dilema tersendiri bagi para penduduknya. Seturut catatan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), kita memiliki 127 gunung api, 69 di antaranya masih aktif hingga kini. Jumlah itu terbanyak di dunia dan menduduki peringkat pertama dengan korban jiwa terbesar.
Saat catatan ini kami tulis, Gunung Anak Krakatau baru saja meletus (5/1/2023). Muntahan abunya menjulang sampai ketinggian 3000 meter. Gunung yang tumbuh dari dalam lautan ini, berpotensi melahirkan tsunami berulangkali, seperti yang terjadi pada 2018 yang merenggut banyak nyawa saudara kita.
Di Sumatera, pada 7 Januari 2023, Gunung Merapi di Tanah Datar, Sumatera Barat juga melestus, menyemburkan kolom abu vulkanik setinggi 300 meter. Meski tidak membahayakan, mitigasi bencana tetap harus dikedepankan, demi mengurangi korban jiwa.
Baca juga: Penataan Kembali Wilayah Bencana
Mari kita tinggalkan sejenak ulasan terkait gunung berapi. Kita beralih pada kajian kebencanaan dari sisi lain.
Sebelum menjumpai Dr Heri Andrea (pakar geodesi dari ITB) di Bandung, kami sempat mengangsu kawruh pada sepasang seniman legendaris di Kota Kembang, Toto Amsar Suanda dan Yoyoh Siti Mariah. Keduanya pasutri pegiat Tari Topeng Cirebon.
Di sela-sela diskusi hangat di kediaman mereka, sore itu mendadak kami tersadar ada awan besar yang di bagian bawahnya seperti garis lurus, membentang dari timur ke barat. Itulah pertama kami melihat awan berbentuk demikian.
Seorang kawan yang berprofesi sebagai dalang mengatakan, bahwa awan itu disinyalir sebagai penanda badai oleh para nelayan di Mandar, Sulawesi Barat.
Tak sampai lima menit dari penampakan awan tersebut, kami mendapat laporan bahwa di Penawangan, Ciamis, Jawa Barat, badai sedang mengamuk. Mendengar kabar itu, Toto Amsar terkejut bukang kepalang. Pasalnya, seumur hidupnya, baru kali inilah kampung tempat kelahirannya dilamun badai.
Sampai di sini, semoga Anda paham apa yang sedang kami maksud.
Ya, dua dasawarsa ke belakang, kita banyak mengalami peristiwa anomali alam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semburan lumpur di Sidoarjo, tanah bergerak yang menyertai gempa dan tanur memancar hingga mengakibatkan banjir (keduanya di Palu), bandang yang meluluhlantakkan Garut dan Banyuwangi, serta ratusan gempa susulan pasca sesar Cimandiri melumat Cianjur.
Banjir yang merendam 40 desa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, juga tak bisa kita anggap sepele. Sebab sangat terkait dengan bagaimana kita mengelola air dan resapannya.
Selain itu, kota-kota besar di Indonesia terancam kehabisan air dalam jangka waktu 30 tahun dari sekarang. Akar perkaranya lantaran penyalahgunaan air artesis yang membabi buta, penyusutan-pendangkalan situ dan hilangnya sumber mata air (bahkan ada yang sudah lenyap jadi pemukiman).
Di kitaran Bandung, penyedotan air sudah mencapai kedalaman 200 meter. Sementara cadangan air tanah hanya sampai di ambang 300 meter.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.