Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Martinus Ariya Seta
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Hobi membaca dan jalan-jalan. Saat ini sedang menempuh studi doktoral dalam bidang Pendidikan Agama di Julius Maximilians Universität Würzburg

Santa Claus Bukan Lagi Sinterklas

Kompas.com - 06/12/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Imajinasi Moore itu menjadi sumber inspirasi penggambaran Santa Claus secara visual di era modern. Thomas Nast (1840-1902), seorang kartunis, memvisualisasikan imajinasi Moore dalam gambar karikatur untuk majalah Harper’s Weekly pada tahun 1863 sampai 1866.

Santa Claus adalah sosok kakek tua sangat gendut dengan perut buncit. Janggutnya putih dan tangannya memegang pipa rokok yang panjang. Santa Claus tidak mengenakan simbol agama, tetapi membawa banyak mainan. Karya Nast ini menjadi prototype visual sosok Santa Claus modern.

Kartunis lain yang juga berperan besar dalam mempopulerkan Santa Claus adalah Haddon Sundblom (1899–1976). Seperti halnya Nast, sumber inspirasi Sundbloom adalah puisi Moore. Gambar karya Sundbloom ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1931 dalam iklan Coca Cola.

Seperti halnya lukisan Nast, tidak ada lagi simbol religius yang dikenakan oleh Santa Claus. Santa Claus versi Sundbloom tidak lagi memegang pipa rokok, tetapi memegang botol minuman Coca-Cola (Okleshen et al, 2000). Warna merah melekat pada kostum yang dikenakan Santa Claus.

Sundbloom memang dipekerjakan oleh Coca-Cola lebih dari 30 tahun. Lukisan Santa Claus karya Sundbloom itu menandai sebuah transformasi kultural sosok Santa Claus di era modern.

Santa Claus menjadi sosok penting dalam strategi marketing global dengan memanfaatkan perayaan Natal (Levi-Strauss, 1993). Bukan hanya Coca-Cola saja yang memanfaatkan daya tarik Santa Claus. Berbagai macam produk memanfaatkan sosok kakek  tua yang simpatik ini untuk mendongkrak omset penjualan.

Komersialisasi Natal adalah fenomena yang sudah terjadi sejak pertengahan abad 20. Santa Claus menjadi salah satu sosok penting dalam mengondisikan fenomena ini.

Boyer (1955) menengarai adanya kecenderungan untuk mendewakan sosok Santa Claus di dalam kultur perayaan Natal modern. Kecenderungan ini terjadi ketika sosok Santa Claus menjadi satu-satunya tambatan harapan dan ikatan terhadap akar religius peristiwa Natal sudah terkikis.

Banyak agamawan Kristiani sebenarnya merasa tidak nyaman dengan transformasi Santa Claus di era modern. Ada semacam rivalitas yang sangat subtil di dalam kultur perayaan Natal modern.

Akar Natal adalah peristiwa religius. Perayaan dalam konteks religius adalah membangun ikatan dengan akar peristiwa untuk sebuah revitalisasi di masa kini. Bagi umat Kritiani, Natal adalah perayaan kedatangan Juru Selamat. Pesan keselamatan eskatologis (akhir zaman) adalah salah satu unsur pokok perayaan Natal.

Keselamatan akan menjadi undangan yang tersia-siakan jikalau tidak ada pertobatan. Pesan pertobatan inilah yang rentan sekali tergeser oleh riuhnya komersialisasi perayaan Natal.

Pesan eskatologis adalah pesan yang mengusik kalbu dan tidak mengenakkan karena bersentuhan dengan tema kematian dan akhirat. Penyampaian pesan eskatologis yang holy (suci) ini harus bersaing dengan daya tarik sosok Santa Claus yang jolly (periang) dan ramah terhadap anak-anak.

Rivalitas ini tidak berlangsung secara frontal. Tentunya, manusia lebih mudah menerima pesan yang menyenangkan daripada pesan yang mengusik. Akan tetapi, harus diingat bahwa sosok Santa Claus juga adalah sosok marketing modern yang memiliki kekuatan sugesti untuk mendorong budaya belanja.

Penutup

Santa Claus bukan lagi Sinterklas. Pernyataan ini adalah sebuah penegasan ketercabutan dari akar peristiwa. Pretes (1995) menegaskan bahwa Santa Claus adalah produk simulacrum (tiruan) yang tidak lagi memiliki keterikatan dengan akarnya yang asali.

Dalam bahasa metaforik, Santa Claus adalah a copy without original text. Santa Claus adalah sosok marketing yang simpatik, tetapi bukan lagi sosok Nikolaus yang religius.

Santa Claus juga memiliki potensi untuk memutus keterikatan terhadap akar peristiwa religius dari perayaan Natal. Jika tidak disikapi dengan bijak, sosok Santa Claus dapat membelokkan perayaan religius menjadi sekedar pesta belanja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com