Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Martinus Ariya Seta
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Hobi membaca dan jalan-jalan. Saat ini sedang menempuh studi doktoral dalam bidang Pendidikan Agama di Julius Maximilians Universität Würzburg

Santa Claus Bukan Lagi Sinterklas

Kompas.com - 06/12/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK orang menyamakan Sinterklas dengan Santa Claus. Identifikasi ini tidaklah tepat. Secara etimologis, memang kedua istilah tersebut memiliki kaitan yang erat.

Secara kultural, Santa Claus adalah transformasi dari Sinterklas. Transformasi ini membawa juga perubahan nuansa semantik dan semiotik. Penelurusan terhadah sejarah transformasi ini adalah penelurusan sejarah kooptasi kapitalisme terhadap perayaan religius.

Sinterklas

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Sinterklas didefinisikan "tokoh suci (dalam agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu memberi hadiah kepada anak-anak pada hari-hari penting (terutama pada ulang tahunnya tanggal 6 Desember)“.

Sinterklas adalah serapan dari kata Sinterklaas dalam Bahasa Belanda. Istilah Santa Claus berasal dari Bahasa Inggris. Di dalam Bahasa Inggris, Santa Claus sebenarnya merupakan serapan dari Sante Klaas yang juga berakar dari Bahasa Belanda. Istilah Sante Klaass adalah versi dialek dari Sinterklaas (van der Sijs, 2009).

Baca juga: Perbedaan Sinterklas dan Santa Claus, Serupa tapi Tak Sama

Sejarah penyerapan kata Sante Klaas menjadi Santa Claus dalam Bahasa Inggris tidak lepas dari para imigran Belanda di kota New York pada abad 17. Mereka memperkenalkan tradisi perayaan Sinterklas.

Di negeri Paman Sam inilah, terjadi transformasi kultural sosok Sinterklas. Santa Claus yang kita kenal sekarang ini adalah produk transformasi kultural tersebut.

Di dalam bahasa Belanda, Sinterklaas adalah sebuatan populer untuk sosok yang dikaitkan dengan Santo Nikolaus dari Myra. Nikolaus hidup pada abad 3-4 Masehi. Dia adalah seorang uskup di Myra, sebuah daerah di Turki.

Nikolaus dikenal sebagai orang yang dermawan. Nikolaus sering berkeliling pada malam hari untuk mendengarkan keluh-kesah dari orang-orang yang berkesusahan. Dengan menguping dari dinding luar rumah, Nikolaus mengetahui persoalan yang dihadapi oleh orang-orang miskin. Dengan diam-diam, Nikolaus meninggalkan bantuan di rumah mereka.

Tradisi penghormatan (devosi) terhadap Nikolaus sudah dimulai sejak abad 6 Masehi. Sinode Oxford tahun 1222 menetapkan tanggal 6 Desember sebagai pesta peringatan Santo Nikolaus.

Peringatan Nikolaus jatuh pada tanggal tersebut karena bertepatan dengan tanggal kematiannya. Sampai sekarang Gereja Katolik Roma dan Orthodoks masih menjaga tradisi peringatan Santo Nikolaus setiap 6 Desember.

Informasi di dalam KBBI tidaklah tepat. Tanggal 6 Desember bukanlah tanggal kelahiran Nikolaus, tetapi tanggal kematiannya.

Di beberapa negara di Eropa, peringatan Santo Nikolaus sudah menjadi ritual kultural. Peringatan Nikolaus tidak hanya di ruang ibadat, tetapi di tengah kerumunan orang. Pada perayaan tersebut, dilaksanakan prosesi. Tokoh utama dalam prosesi tersegut adalah sosok orang tua yang menaiki kuda dengan jubah dan topi uskup. Ada simbol salib di topi uskup tersebut.

Ilustrasi Sinterklas.DPA/ROEBIN UTRECHT via DW INDONESIA Ilustrasi Sinterklas.
Santa Claus: Transformasi Sinterklas

Pada mulanya, sosok Nikolaus bukanlah tokoh dalam tradisi perayaan Natal. Dalam kultur perayaan Natal modern, Santa Claus menjadi tokoh utama.

Transformasi sosok Santa Claus ini dipelopori oleh Clement Clarke Moore. Di dalam puisinya yang berjudul "A Visit from St. Nicholas" (1823), Moore menuliskan “Twas the night before Christmas… In hopes that St. Nicholas soon would be there.”

Selain itu, sosok Nikolaus dalam puisi ini digambarkan sebagai kakek tua periang yang mengenakan mantel bulu. Tubuhnya sangat gendut dan janggutnya putih. Moore juga tidak menyinggung simbol agama di dalam pusisnya tersebut.

Baca juga: Survei: Mayoritas Anak Inggris Percaya Teori Ajaib tentang Sinterklas

Imajinasi Moore itu menjadi sumber inspirasi penggambaran Santa Claus secara visual di era modern. Thomas Nast (1840-1902), seorang kartunis, memvisualisasikan imajinasi Moore dalam gambar karikatur untuk majalah Harper’s Weekly pada tahun 1863 sampai 1866.

Santa Claus adalah sosok kakek tua sangat gendut dengan perut buncit. Janggutnya putih dan tangannya memegang pipa rokok yang panjang. Santa Claus tidak mengenakan simbol agama, tetapi membawa banyak mainan. Karya Nast ini menjadi prototype visual sosok Santa Claus modern.

Kartunis lain yang juga berperan besar dalam mempopulerkan Santa Claus adalah Haddon Sundblom (1899–1976). Seperti halnya Nast, sumber inspirasi Sundbloom adalah puisi Moore. Gambar karya Sundbloom ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1931 dalam iklan Coca Cola.

Seperti halnya lukisan Nast, tidak ada lagi simbol religius yang dikenakan oleh Santa Claus. Santa Claus versi Sundbloom tidak lagi memegang pipa rokok, tetapi memegang botol minuman Coca-Cola (Okleshen et al, 2000). Warna merah melekat pada kostum yang dikenakan Santa Claus.

Sundbloom memang dipekerjakan oleh Coca-Cola lebih dari 30 tahun. Lukisan Santa Claus karya Sundbloom itu menandai sebuah transformasi kultural sosok Santa Claus di era modern.

Santa Claus menjadi sosok penting dalam strategi marketing global dengan memanfaatkan perayaan Natal (Levi-Strauss, 1993). Bukan hanya Coca-Cola saja yang memanfaatkan daya tarik Santa Claus. Berbagai macam produk memanfaatkan sosok kakek  tua yang simpatik ini untuk mendongkrak omset penjualan.

Komersialisasi Natal adalah fenomena yang sudah terjadi sejak pertengahan abad 20. Santa Claus menjadi salah satu sosok penting dalam mengondisikan fenomena ini.

Boyer (1955) menengarai adanya kecenderungan untuk mendewakan sosok Santa Claus di dalam kultur perayaan Natal modern. Kecenderungan ini terjadi ketika sosok Santa Claus menjadi satu-satunya tambatan harapan dan ikatan terhadap akar religius peristiwa Natal sudah terkikis.

Banyak agamawan Kristiani sebenarnya merasa tidak nyaman dengan transformasi Santa Claus di era modern. Ada semacam rivalitas yang sangat subtil di dalam kultur perayaan Natal modern.

Akar Natal adalah peristiwa religius. Perayaan dalam konteks religius adalah membangun ikatan dengan akar peristiwa untuk sebuah revitalisasi di masa kini. Bagi umat Kritiani, Natal adalah perayaan kedatangan Juru Selamat. Pesan keselamatan eskatologis (akhir zaman) adalah salah satu unsur pokok perayaan Natal.

Keselamatan akan menjadi undangan yang tersia-siakan jikalau tidak ada pertobatan. Pesan pertobatan inilah yang rentan sekali tergeser oleh riuhnya komersialisasi perayaan Natal.

Pesan eskatologis adalah pesan yang mengusik kalbu dan tidak mengenakkan karena bersentuhan dengan tema kematian dan akhirat. Penyampaian pesan eskatologis yang holy (suci) ini harus bersaing dengan daya tarik sosok Santa Claus yang jolly (periang) dan ramah terhadap anak-anak.

Rivalitas ini tidak berlangsung secara frontal. Tentunya, manusia lebih mudah menerima pesan yang menyenangkan daripada pesan yang mengusik. Akan tetapi, harus diingat bahwa sosok Santa Claus juga adalah sosok marketing modern yang memiliki kekuatan sugesti untuk mendorong budaya belanja.

Penutup

Santa Claus bukan lagi Sinterklas. Pernyataan ini adalah sebuah penegasan ketercabutan dari akar peristiwa. Pretes (1995) menegaskan bahwa Santa Claus adalah produk simulacrum (tiruan) yang tidak lagi memiliki keterikatan dengan akarnya yang asali.

Dalam bahasa metaforik, Santa Claus adalah a copy without original text. Santa Claus adalah sosok marketing yang simpatik, tetapi bukan lagi sosok Nikolaus yang religius.

Santa Claus juga memiliki potensi untuk memutus keterikatan terhadap akar peristiwa religius dari perayaan Natal. Jika tidak disikapi dengan bijak, sosok Santa Claus dapat membelokkan perayaan religius menjadi sekedar pesta belanja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com