Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Sastra menawarkan suasana baru dalam menyelami hidup manusia. Kita tidak perlu membicarakan kebenaran atau faktanya bagaimana dalam karya sastra. Karena sastra memiliki logikanya sendiri.
Karya sastra juga bukanlah wahyu Tuhan, meskipun tidak jarang kita memerlukan pisau bedah logika untuk memahami sastra. Bisa dibilang juga sastra kerap memberikan petunjuk dan menuntun kita kepada suatu maksud.
Sebagai seorang penulis dan jurnalis, Leila S. Chudori membagikan kisah dan kedekatannya kepada sastra dalam siniar Beginu bertajuk “Buka Buku Kisah Leila S. Chudori” yang dapat diakses melalui tautan https://dik.si/BeginuLeilaP1.
Setiap kata yang dibaca akan secara alamiah menuntun kita pada proses pengenalan tanda yang menjelma menjadi konvensi kehidupan imajinatif. Akan tetapi, bukan berarti sastra bersifat “halu” atau mengada-ngada.
Pasalnya, ada hubungan erat antara sastra dan logika, bahkan dalam cerita-cerita yang dianggap tak masuk “akal” sekalipun, seperti dongeng ibu peri dalam Cinderella dan sihir pada Harry Potter.
Plato pernah mengungkapkan bahwa ada tiga dunia yang saling berhubungan, yaitu dunia ide, manusia, dan sastra, yang kemudian dikenal dengan teori mimesis. Dunia sastra mencerminkan dunia manusia, begitu juga dengan manusia yang berusaha mewujudkan segala ide-ide yang sifatnya imajinatif.
Baca juga: Kisah Korupsi dalam Secangkir Kopi Multatuli
Sastra memang kerap merepresentasikan fenomena-fenomena yang absurd, ajaib, dan irasional. Akan tetapi, fenomena itu tetap memiliki logikanya tersendiri, seperti Icarus yang ribuan tahun lalu mengungkapkan adanya gagasan atas manusia terbang.
Kemudian, ada tokoh Harry Potter yang dapat mengendarai sapu terbang dan menjadi tak terlihat dalam jubahnya.
Mengapa Icarus dan Harry Potter dapat diterima? Karena dalam dunia mereka ada logika tersendiri. Pendek kata, baik dunia Icarus maupun Harry Potter memiliki hukumnya sendiri yang khas.
Dapat dikatakan juga, salah satu sifat logika adalah konsistensi. Sastra dapat diterima akal logika selama koresponden dengan dunia sastranya.
Selain itu, sastra juga dapat menjadi instrumen refleksi kehidupan manusia. Dalam karya sastra, penggerak cerita dapat narrator atau tokoh yang memiliki motif tertentu, baik secara sadar maupun tidak.
Bisa kita lihat pada tokoh Sutarjo dalam cerpen “Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi” karya Kuntowijoyo. Sutarjo mencalonkan diri menjadi Kades, tetapi kalah dari pesaingnya karena berharap ada kejujuran dalam politik.
Bahkan, Sutarjo mendapat cibiran dari istrinya. “Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus urung,” komentar istrinya yang dikutip dari kumpulan cerpen Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi.
Dari contoh kutipan tersebut, ada banyak pendekatan yang dapat menjadi pisau untuk mengerti sastra, seperti filsafat, sosiologi, dan psikologi.
Baca juga: Baik untuk Kesehatan Mental, Ini 3 Manfaat Memiliki Koleksi