Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Apa Sebenarnya Hidup?

Kompas.com - 17/11/2022, 08:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “hidup” ternyata memiliki beranekaragam makna antara lain:

1 masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya (tentang manusia, binatang, tumbuhan, dan sebagainya):kakeknya masih -- , tetapi neneknya telah lama meninggal; 2 bertempat tinggal (diam): -- di desa lebih tenang daripada di kota besar; 3 mengalami kehidupan dalam keadaan atau dengan cara tertentu: dulu dia -- mewah, sekarang merana; kita harus -- dengan hemat; 4 beroleh (mendapat) rezeki dengan jalan sesuatu: penduduk di sekitar pelabuhan itu -- dari berniaga; 5 berlangsung (ada) karena sesuatu: yayasan itu dapat -- karena uang sumbangan para dermawan; 6 tetap ada (tidak hilang): peristiwa indah itu masih -- dalam ingatannya; 7 masih berjalan (tentang perusahaan, perkumpulan, dan sebagainya): walaupun jumlah anggotanya tidak lagi sebanyak dahulu, perkumpulan itu tetap -- juga; 8 tetap menyala (tentang lampu, radio, api): dia sudah tertidur, tetapi lampu di sampingnya masih saja --; tetap bergerak terus: arloji saya masih -- juga walaupun jatuh ke lantai; 9 masih tetap dipakai (tentang bahasa, adat, sumur, dan sebagainya): adat itu masih tetap -- dalam masyarakat; 10 ramai (tidak sepi dan sebagainya): menjelang Lebaran perdagangan kain dan makanan -- sekali; 11 seakan-akan bernyawa atau benar-benar tampak seperti keadaan sesungguhnya (tentang lukisan, gambar): lukisan itu sangat --; 12seperti sungguh-sungguh terjadi atau dialami (tentang cerita): cerita dan gaya bahasanya segar lagi --; 13 seruan yang menyatakan harapan mudah-mudahan tetap selamat;-- dikandung adat, mati dikandung tanah, pb selama hidup orang harus taat pada adat kebiasaan dalam masyarakat; -- di ujung gurung orang, pb orang yang hidup melarat; -- dua muara, pb mempunyai dua macam mata pencaharian; -- kayu berbuah, -- manusia biar berjasa, pb pada waktu kita hidup sebaiknya berbuat baik untuk diri sendiri dan untuk masyarakat; -- sandar-menyandar umpama aur dengan tebing, pb perihal orang berlaki istri yang berkasih-kasihan; perihal orang bersahabat yang setia dan saling menolong; -- segan mati tak hendak, pb hidup yang merana (karena sakit terus-menerus, melarat, sengsara, dan sebagainya); -- tidak karena doa, mati tidak karena sumpah, pb orang harus berusaha dengan tenaga dan pikiran sendiri dan tidak mengharapkan pertolongan orang lain; daripada -- bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah (daripada -- berlumur tahi, lebih baik mati bertimbun bunga), pb daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati; jauh berjalan banyak dilihat, lama -- banyak dirasa, pb sudah berpengalaman banyak; kalau bangkai galikan kuburnya, kalau -- sediakan buaiannya, pb lebih baik menunggu dengan tenang apa yang akan terjadi, lalu mempertimbangkan langkah apa yang akan diambil.

Ternyata pemaknaan KBBI terhadap “hidup” cukup kompleks maka berkepanjangan. Itu pun sudah saya pangkas dengan sengaja hanya memetik pemaknaan KBBI terhadap “hidup” terbatas pada kata benda maupun tak benda sekadar leksikal dan metaforal.

Di dalam ruang terbatas naskah sederhana saya tidak berani mencari pemaknaan semantikal maupun semiotikal “hidup” dengan menggunakan lensa biologi, kimia, metafisika, etika, apalagi filsafat yang masing-masing memiliki kaidah tafsir saling beda satu dengan lain-lainnya.

Apalagi jika yang dicari adalah makna hidup maka masing-masing insan manusia memiliki penafsiran masing-masing.

Di semesta filsafat, misalnya Lebensphilosophie sebagai kritik terhadap rasionalisme dan kebangkitan positivisme dan post-Kantianisme tersirat di dalam pemikiran Schopenhauer, Kierkegaard dan Nietzsche.

Gerakan Lebensphilosophie di kalangan pemikir Jerman secara langsung maupun tidak langsung terkait filsafat subyektivisme tentang vitalisme yang dikembangkan oleh Henri Bergson yang pada hakikatnya analog kearifan Jawa tentang ngelakoni.

Sebagai seorang warga Indonesia yang tumbuh-kembang di permukaan kebudayaan Jawa, dalam upaya mencari makna “hidup” lubuk sanubari saya senantiasa tergetar oleh pemaknaan kearifan Jawa “urip iku urup”.

Secara harafiah, makna urip adalah hidup dan urup adalah nyala api. Namun kearifan pemikiran leluhur Jawa apabila dialih-bahasakan ke bahasa lain rawan kehilangan inti makna yang sebenarnya dimaknakan.

Makna sejatinya “urip iku urup” lebih bisa diperoleh melalui bukan penafsiran apalagi perdebatan semantikal, sintaksial, semiotikal, gramatikal maupun al-al linguistikal lain-lainnya namun sederhana saja, yaitu melalui ngelakoni.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com