PEMBANGUNAN sering kali hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berbagai langkah untuk memperbesar angka Produk Domestik Bruto (PDB) lalu menjadi target utama yang harus dicapai.
Padahal, pembangunan yang baik seyogyanya bersifat multidimensional dalam setiap prosesnya. Salah satu aspek penting yang acap kali luput dari perhatian adalah kelestarian lingkungan.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah pembangunan yang selama ini dilakukan sudah membawa perubahan menuju ke arah yang lebih baik, tanpa dampak lingkungan yang merugikan?
Konsep green economy (ekonomi hijau) mungkin familiar di telinga kita. Ekonomi hijau merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, misalnya menjaga tingkat kualitas air dan udara. Upaya menurunkan tingkat kerusakan kawasan hutan termasuk ke dalam konsep ekonomi hijau.
Baca juga: Menilik Kebijakan Riset dan Inovasi dalam Platform Ekonomi Biru, Apakah Masih Sebatas Jargon?
Bagaimana dengan ekonomi biru? Apa makna dan cakupannya? Konsep blue economy (ekonomi biru) pertama kali digagas ekonom Belgia, Gunter Pauli, tahun 2010 melalui bukunya dengan judul yang sama.
Konsep itu dikembangkan untuk menjawab tantangan bahwa proses pembangunan ekonomi yang tengah berlangsung hingga saat ini cenderung eksploitatif dan merusak lingkungan. Alam rusak karena eksploitasi yang berlebihan dan menghasilkan limbah.
Gunter Pauli dalam bukunya berjudul “The Blue Economy - 10 Years - 100 Innovations - 100 Million Jobs” (2013) menyatakan bahwa inti ekonomi biru adalah pembangunan berkelanjutan yang merupakan penguatan dan memperkaya konsep ekonomi hijau. Semboyannya adalah “Blue Sky - Blue Ocean”. Itu artinya, ekonomi terus tumbuh, rakyat sejahtera, tetapi langit dan lautan tetap biru.
Konsep itu bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor maritim, sekaligus tetap menjamin kelestarian sumber daya serta lingkungan pesisir dan lautan.
Konsep ekonomi biru sejalan dengan konsep ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan difokuskan pada negara-negara berkembang dengan wilayah perairan (laut), yang biasa dikenal dengan Small Island Development States (SIDS).
Ekonomi biru ditujukan untuk mengatasi kelaparan, mengurangi kemiskinan, menciptakan kehidupan laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di daerah pesisir, serta adaptasi terhadap perubahan iklim.
Pada dasarnya, konsep ekonomi biru tidak hanya terbatas pada sektor perikanan dan budidaya air saja, tetapi termasuk dengan sektor pariwisata dan transportasi yang secara fundamental mengandalkan kekuatan maritim.
Namun, untuk mendapatkan gambaran yang cukup terkait potensi ekonomi biru di suatu wilayah, Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor perikanan serta transportasi laut dan sungai bisa digunakan sebagai salah satu proxy.
Dalam publikasi “Produk Domestik Bruto Indonesia Triwulanan 2018-2022”, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa subsektor perikanan cenderung mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir. PDB riilnya mencapai Rp 58,96 triliun pada triwulan I tahun 2018 dan terus meningkat hingga mencapai Rp 69,57 triliun pada triwulan II tahun 2022.
Subsektor perikanan cenderung berpotensi besar di Indonesia mengingat sumbangsihnya terhadap struktur perekonomian secara keseluruhan mencapai sekitar 2,7 persen setiap triwulannya.
Sejalan dengan subsektor perikanan, subsektor tranpsortasi sungai dan laut juga cenderung mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir. Pertumbuhannya pada triwulan II tahun 2022 mencapai sekitar 5,18 persen untuk transportasi laut dan 41,18 persen untuk transportasi sungai danau dan penyeberangan (ASDP).
Baca juga: KKP Terapkan 5 Strategi Ekonomi Biru, Maksimalkan Potensi Laut Indonesia