Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Mau Jadi Pemimpin yang Inovatif? Pahami Konsep "ABC Leadership"

Kompas.com - 05/11/2022, 14:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMIMPIN menempati posisi teratas dalam suatu organisasi, sehingga orang akan selalu melihat apa inovasi dan gebrakannya. Memang, dengan wewenangnya, pemimpin punya kekuasaan untuk mengubah wajah organisasi.

Namun, kekuasaan yang didapatkan sebanding dengan tanggung jawabnya untuk terus berinovasi di tengah disrupsi teknologi, terlebih, masa sekarang adalah masa yang penuh ketidakpastiaan.

Tanpa inovasi, organisasi tidak akan bertahan lama. Itu sudah dialami oleh perusahaan Kodak, Nokia, dan Xerox. Mereka terpaksa gulung tikar karena tidak melakukan gebrakan yang inovatif.

Karena itu, inovasi menjadi sebuah tuntutan supaya organisasi bisa terus melesat. Namun bagaimana caranya agar pemimpin dapat terus berinovasi?

Baca juga: Meta Leadership: Gaya Kepemimpinan Efektif di Era Badai Krisis

Dalam ilmu kepemimpinan terkini, ada konsep yang disebut ABC Leadership. Linda A Hill, profesor Administrasi Bisnis di Universitas Harvard memperkenalkan konsep ini, bersama dengan tiga rekan lainnya: Emily Tedards, Jason Wilds, dan Karl Weber.

Pada dasarnya, ABC Leadership adalah sebuah konsep di mana pemimpin harus berhenti mengandalkan otoritas formal sebagai sumber kekuatannya dan mengubah gayanya dengan lebih luwes dan menjunjung tinggi kolektivitas (Collective Genius).

Karena itu, pemimpin harus memainkan perannya sebagai (A)rchitect, (B)ridger, dan (C)atalyst. Ketiga peran ini saling mengisi karena untuk menciptakan high-end innovative organization tidaklah mudah.

Arsitek (Architect) organisasi

Pemimpin harus memulainya dengan membuat kultur yang tepat di timnya agar setiap anggota tim bisa berkontribusi maksimal. Budaya memainkan peran penting dalam organisasi.

Studi Quantum Workplace tahun 2022 menemukan bahwa 66 persen para eksekutif di dunia bisnis percaya bahwa budaya lebih penting daripada strategi bisnis operasi atau model operasinya.

Selain itu, 66 persen karyawan percaya bahwa budaya berdampak pada kinerja dan sikap mereka. Ditambah lagi, budaya menentukan engagement anggota dan performa organisasi.

Survei Quantum Workplace menunjukkan, karyawan yang tidak engage 3,8x lebih mungkin menjadikan budaya organisasi sebagai alasan untuk pergi dari tempatnya bekerja. Dari sini, budaya memainkan peran yang sangat penting bagi kinerja organisasi.

Karena itu, mendesain budaya harus menjadi prioritas utama bagi pemimpin. Mendesain budaya adalah tentang upaya menggerakkan manusia di dalamnya untuk mengeluarkan potensi terbesarnya dan berkolaborasi memberikan yang terbaik untuk organisasi.

Setiap orang memiliki banyak hal untuk ditawarkan. Pemimpin harus jeli dan peka melihat potensi anggota mereka supaya nantinya, setiap jenis kekuatan yang dimiliki anggota bisa disatukan dalam kerja-kerja kolaboratif untuk menghasilkan karya yang unik.

Pekerjaan pun akan terasa menyenangkan jika mereka tahu apa yang bisa mereka kontribusikan dan kolaborasikan.

State of the Collaboration 2022 menemukan, 76 persen pekerja menikmati kolaborasi dan lebih dari 50 persen pemimpin tingkat menengah merasa mereka butuh kolaborasi lebih agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik.

Baca juga: Compassionate Leadership: Gaya Kepemimpinan Penuh Cinta

Banyak perusahaan yang saya kira sudah menerapkan budaya kolaboratif. Contohnya adalah perusahaan IBM. IBM memiliki tools tersendiri untuk mendorong budaya kolaboratif. Mereka menerapkan praktik design thinking untuk mengetahui apa alasan karyawan mereka bekerja dan apa yang bisa dilakukan oleh mereka di organisasi.

Praktik itu membuat anggota menjadi lebih reflektif, engage, dan dapat berkolaborasi dengan baik. Menurut laporan dari Forrester 2018, karyawan IBM berhasil mengurangi bugs dan defect sebanyak 50 persen.

Selain itu, kerja kolaboratif berhasil menghemat 9,2 juta dari proses perampingan. Bahkan, studi ILO tahun 2019 menegaskan, ketika organisasi menerapkan budaya dan kebijakan yang inklusif, kreativitas, inovasi, dan keterbukaan akan meningkat 59,1 persen, menghasilkan 37,9 persen penilaian yang lebih baik dari minat dan permintaan konsumen.

Hasil baik dari kerja kolaboratif menunjukkan budaya organisasi yang matang. Pemimpin IBM sukses mendesain budaya organisasi yang tepat, yang membuat semua jenius di bidangnya berkolaborasi. Pemimpin hanya perlu menyadari bakat dan kemampuan anggotanya lalu menempatkannya di tempat yang cocok dengan kapabilitas anggotanya.

Menjembatani perubahan (Bridger)

Ketika budaya telah terbentuk, organisasi akan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan. Menurut studi Deloitte tahun 2021, sebesar 72 persen eksekutif mengatakan bahwa kemampuan orang-orang mereka untuk beradaptasi, melatih kembali, dan mengambil peran baru adalah salah satu faktor terpenting dalam kemampuan mereka untuk menavigasi disrupsi di masa depan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com