Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mau Jadi Pemimpin yang Inovatif? Pahami Konsep "ABC Leadership"

Namun, kekuasaan yang didapatkan sebanding dengan tanggung jawabnya untuk terus berinovasi di tengah disrupsi teknologi, terlebih, masa sekarang adalah masa yang penuh ketidakpastiaan.

Tanpa inovasi, organisasi tidak akan bertahan lama. Itu sudah dialami oleh perusahaan Kodak, Nokia, dan Xerox. Mereka terpaksa gulung tikar karena tidak melakukan gebrakan yang inovatif.

Karena itu, inovasi menjadi sebuah tuntutan supaya organisasi bisa terus melesat. Namun bagaimana caranya agar pemimpin dapat terus berinovasi?

Dalam ilmu kepemimpinan terkini, ada konsep yang disebut ABC Leadership. Linda A Hill, profesor Administrasi Bisnis di Universitas Harvard memperkenalkan konsep ini, bersama dengan tiga rekan lainnya: Emily Tedards, Jason Wilds, dan Karl Weber.

Pada dasarnya, ABC Leadership adalah sebuah konsep di mana pemimpin harus berhenti mengandalkan otoritas formal sebagai sumber kekuatannya dan mengubah gayanya dengan lebih luwes dan menjunjung tinggi kolektivitas (Collective Genius).

Karena itu, pemimpin harus memainkan perannya sebagai (A)rchitect, (B)ridger, dan (C)atalyst. Ketiga peran ini saling mengisi karena untuk menciptakan high-end innovative organization tidaklah mudah.

Arsitek (Architect) organisasi

Pemimpin harus memulainya dengan membuat kultur yang tepat di timnya agar setiap anggota tim bisa berkontribusi maksimal. Budaya memainkan peran penting dalam organisasi.

Studi Quantum Workplace tahun 2022 menemukan bahwa 66 persen para eksekutif di dunia bisnis percaya bahwa budaya lebih penting daripada strategi bisnis operasi atau model operasinya.

Selain itu, 66 persen karyawan percaya bahwa budaya berdampak pada kinerja dan sikap mereka. Ditambah lagi, budaya menentukan engagement anggota dan performa organisasi.

Survei Quantum Workplace menunjukkan, karyawan yang tidak engage 3,8x lebih mungkin menjadikan budaya organisasi sebagai alasan untuk pergi dari tempatnya bekerja. Dari sini, budaya memainkan peran yang sangat penting bagi kinerja organisasi.

Karena itu, mendesain budaya harus menjadi prioritas utama bagi pemimpin. Mendesain budaya adalah tentang upaya menggerakkan manusia di dalamnya untuk mengeluarkan potensi terbesarnya dan berkolaborasi memberikan yang terbaik untuk organisasi.

Setiap orang memiliki banyak hal untuk ditawarkan. Pemimpin harus jeli dan peka melihat potensi anggota mereka supaya nantinya, setiap jenis kekuatan yang dimiliki anggota bisa disatukan dalam kerja-kerja kolaboratif untuk menghasilkan karya yang unik.

Pekerjaan pun akan terasa menyenangkan jika mereka tahu apa yang bisa mereka kontribusikan dan kolaborasikan.

State of the Collaboration 2022 menemukan, 76 persen pekerja menikmati kolaborasi dan lebih dari 50 persen pemimpin tingkat menengah merasa mereka butuh kolaborasi lebih agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik.

Banyak perusahaan yang saya kira sudah menerapkan budaya kolaboratif. Contohnya adalah perusahaan IBM. IBM memiliki tools tersendiri untuk mendorong budaya kolaboratif. Mereka menerapkan praktik design thinking untuk mengetahui apa alasan karyawan mereka bekerja dan apa yang bisa dilakukan oleh mereka di organisasi.

Praktik itu membuat anggota menjadi lebih reflektif, engage, dan dapat berkolaborasi dengan baik. Menurut laporan dari Forrester 2018, karyawan IBM berhasil mengurangi bugs dan defect sebanyak 50 persen.

Selain itu, kerja kolaboratif berhasil menghemat 9,2 juta dari proses perampingan. Bahkan, studi ILO tahun 2019 menegaskan, ketika organisasi menerapkan budaya dan kebijakan yang inklusif, kreativitas, inovasi, dan keterbukaan akan meningkat 59,1 persen, menghasilkan 37,9 persen penilaian yang lebih baik dari minat dan permintaan konsumen.

Hasil baik dari kerja kolaboratif menunjukkan budaya organisasi yang matang. Pemimpin IBM sukses mendesain budaya organisasi yang tepat, yang membuat semua jenius di bidangnya berkolaborasi. Pemimpin hanya perlu menyadari bakat dan kemampuan anggotanya lalu menempatkannya di tempat yang cocok dengan kapabilitas anggotanya.

Menjembatani perubahan (Bridger)

Ketika budaya telah terbentuk, organisasi akan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan. Menurut studi Deloitte tahun 2021, sebesar 72 persen eksekutif mengatakan bahwa kemampuan orang-orang mereka untuk beradaptasi, melatih kembali, dan mengambil peran baru adalah salah satu faktor terpenting dalam kemampuan mereka untuk menavigasi disrupsi di masa depan.

Budaya organisasi yang memiliki tingkat adaptabilitas tinggi menjadi sinyal bagi pemimpin untuk membawa organisasinya melesat lebih jauh. Tentu tidak mungkin menguatkan internal organisasi saja bisa membawa organisasi ke tingkat yang lebih tinggi.

Pemimpin harus membawa organisasinya untuk membuka diri dengan lingkungan luar. Karena itu, pemimpin harus melakukan dua hal.

Pertama, pemimpin perlu memperkaya organisasi dengan talenta-talenta dunia terbaik dari wilayah manapun. Mencari talenta terbaik semakin mudah berkat adanya platform yang memungkinkan organisasi mendapatkan talenta terbaik.

Talenta-talenta baru tersebut akan membawa kekayaan perspektif serta budaya baru yang memperkaya wawasan anggota tim. Tim pun akan menjadi lebih beragam dan inovatif.

Keberagaman dalam tim pun membawa manfaat besar bagi organisasi. Survei dari Harvard Business Review tahun 2018 menemukan bahwa perusahaan yang memiliki tim yang beragam akan meningkatkan pendapatan inovasi sebesar 19 persen.

Survei lain dari Catalyst tahun 2020 juga mengatakan bahwa ketika tim merasakan budaya yang inklusif, tim akan 49 persen lebih banyak dalam memecahkan masalah dan meningkatkan inovasi sebanyak 18 persen.

Kedua, pemimpin perlu bermitra dengan organisasi lain agar dapat mengakses lebih banyak sumber daya dan memperluas jangkauan. Selain akses dan perluasan, kemitraan juga membuat organisasi mampu menyebarkan manfaat dan nilai positif dari organisasinya.

Kemitraan juga akan menciptakan inovasi baru dari hasil pertukaran ide antar organisasi. Kita ambil contoh kemitraan yang dilakukan perusahaan IT Cisco dengan NGO Internasional Global Citizen. Beberapa tahun yang lalu, mereka berkolaborasi untuk mengakhiri kemiskinan pada tahun 2030.

Kolaborasi itu bermanfaat bagi kedua pihak. Cisco dapat menyalurkan teknologi Wi-fi, juga platform konten dan storytelling di wilayah Sub-sahara Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara, Amerika Utara, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, Global Citizen bisa memberikan daya bantuan dan mendapatkan ruang gerak yang lebih besar kepada mereka yang kurang beruntung.

Ada juga studi kasus lainnya dari kemitraan Grab Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), dan Konekin Indonesia yang terjalin tahun 2020. Ketiga organisasi ini memiliki misi yang selaras.

Grab Indonesia ingin menjadikannya dirinya platformnya lebih inklusif, termasuk untuk teman-teman disabilitas. Kemkominfo ingin memperkuat literasi digital kepada banyak orang. Konekin Indonesia adalah organisasi yang memberdayakan para disabilitas. Kemitraan ini membuat Grab, Kemkominfo, dan Konekin Indonesia mampu meningkatkan kapasitas teman-teman disabilitas.

Selain dua kasus di atas, beberapa minggu yang lalu, perusahaan mobil Mercedes-Benz bermitra dengan Microsoft agar mereka bisa melakukan produksi dengan lebih resilien, efisien, dan sustainable.

Mercedes-Benz memanfaatkan teknologi cloud dan artificial intelligence yang dimiliki Microsoft agar bisa memprediksi kesalahan dalam produksi sehingga bisa merespon lebih cepat. Microsoft pun dapat memperluas upayanya untuk mendemokratisasi teknologi dan mendapatkan akses data yang bisa dipelajari.

Kemitraan tersebut tidak bisa dilakukan jika pemimpin tidak memiliki pola pikir kolaboratif dan terbuka terhadap ide-ide baru. Kemitraan membuat organisasi mendapatkan akses sumber daya yang sebelumnya tidak bisa dimiliki, yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan organisasi.

Dengan melakukan kemitraan, organisasi dapat menjelajah teritori baru yang belum terjamah. Dari studi kasus Cisco, manfaat dari tools yang dibuat oleh karyawan Cisco bisa lebih berdampak dan berguna bagi banyak orang. Karyawan di Cisco pun akan memiliki alasan yang lebih kuat agar orang-orang bisa menikmati karya inovatif perusahaannya.

Kemitraan Grab Indonesia, Kemkominfo, dan Konekin Indonesia membawa dampak yang lebih luas kepada teman-teman disabilitas, di mana mereka bisa lebih berdaya.

Kerja sama Mercedes-Benz dan Microsoft pun juga mendemokratisasi penggunaan teknologi dan data serta mengefisiensikan operasional.

Menjadi katalisator (Catalyst)

Kemudian, ketika organisasi sudah terbiasa melakukan kemitraan, akan terbentuk sebuah jaringan interdependen yang terdiri dari beragam organisasi. Setiap organisasi di dalam jaringan tersebut akan saling bergantung satu sama lain karena kekuatan mereka saling melengkapi.

Ini sama seperti perdagangan dunia di mana komponen di laptop kita saja bisa berasal dari berbagai negara. Artinya, ada ekosistem yang berhasil dibuat oleh pemimpin. Ekosistem yang telah terbentuk ini harus pemimpin manfaatkan untuk mengakselerasi rekacipta.

Linda Hill dalam artikelnya What Makes a Great Leader mengatakan, katalisator mengelola segala jaringan interdependen. Katalisator mengakui, untuk mewujudkan visi organisasi, dia harus memberdayakan organisasi lainnya.

Jika pemimpin tidak mampu untuk bekerja sama dengan banyak organisasi, inovasi akan terhambat. Dengan kata lain, ekosistem yang ada seharusnya memungkinkan pemimpin menyelenggarakan multi-actor partnership.

Setiap aktor memainkan perannya sesuai kemampuan dan kapabilitasnya. Kemudian pemimpin memanfaatkan setiap sumber daya organisasi-organisasi untuk melakukan hal besar dan bermanfaat bagi banyak pihak.

Kerja sama tersebut membawa semangat kolaborasi, kontribusi, dan gotong royong.

Kedaireka adalah contoh nyatanya. Kedaireka adalah ekosistem milik Kementerian Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi (Kemendikbud-ristek) yang mempertemukan insan pendidikan tinggi dengan pelaku industri agar dapat menciptakan karya inovatif untuk Indonesia.

Kedaireka juga berkembang sangat pesat. Tahun 2021, Kedaireka hanya digunakan oleh 18.316 perguruan tinggi dan 1.853 mitra bisnis. Tahun 2022 ini, sebanyak 33.018 perguruan tinggi dan 9.721 mitra bisnis telah melakukan kemitraan melalui platform Kedaireka.

Total kreasi reka juga meningkat: dari 2.681 di tahun 2021 menjadi 8.464 di tahun 2022. Begitu pun dengan peluang cipta: dari 949 di tahun 2021 menjadi 4.436 di tahun 2022.

Pesatnya pertumbuhan Kedaireka menunjukkan peran Kemendikbud sebagai seorang katalisator rekacipta bagi dunia bisnis dan dunia pendidikan.

Selama ini, kedua dunia ini agak sulit untuk bertemu. Kedaireka berhasil menjembatani dunia industri dan pendidikan dengan menyediakan ekosistem yang mendukung kolaborasi dua dunia.

Kolaborasi antar keduanya menjadi salah satu kontribusi vital bagi kemajuan negara Indonesia. Kolaborasi dan inovasi menjadi dua hal yang tidak bisa terpisahkan dan membutuhkan proses yang panjang.

Pemimpin perlu membangun budaya inovasi di internal organisasi. Kemudian, ketika budaya di internal sudah mapan dan solid, pemimpin mulai melakukan upaya-upaya kolaborasi dan kemitraan.

Ketika lingkungan internal dan eksternalnya sudah mendukung, pemimpin mengakselerasi rekacipta-rekacipta dengan asas kolaborasi. Singkatnya, dunia membutuhkan sosok-sosok yang dapat menggerakkan orang-orang untuk berinovasi. Sosok-sosok yang terbuka dan ingin bekerja bersama dengan beragam pihak untuk membawa perubahan dan menjadikan dunia lebih baik.

Ketika semuanya dibangun dan dibentuk dengan tepat, pemimpin akan mudah mengondisikan ekosistem inovatif. Pemimpin tipikal ini percaya bahwa kita tidak bisa sendiri untuk mengubah dunia dan perlu pola pikir serta sikap yang tepat agar inovasi dan kolaborasi berjalan optimal. Semakin banyak tangan, semakin baik.

Terlebih, saat ini kita menghadapi banyak ketidakpastian dan masalah multidimensi. Situasi tersebut mendorong kita untuk mengeluarkan solusi inovatif. Solusi yang out-of-the-box.

Selain itu, dari sudut pandang kepemimpinan, peran pemimpin dalam ABC Leadership berubah definisinya. ABC Leadership membuat pemimpin keluar dari sangkarnya dan melakukan blusukan.

Pemimpin menjadi pemain aktif dalam organisasi, bukan menjadi sosok yang hanya mengetahui semuanya dari laporan. Pemimpin menjadi seorang konseptor dan eksekutor handal organisasi. Seseorang yang senang terjun ke medan perang.

Bagi saya, pemimpin seperti itu yang akan menjadi game changer bagi dunia. Saya melihat sudah mulai bermunculan sosok pemimpin seperti itu

. Kita membutuhkan banyak ABC leader dan saya yakin, Andalah salah satunya. Semoga terus lahir inovasi yang berdampak luas untuk kemajuan Nusantara.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/11/05/145942165/mau-jadi-pemimpin-yang-inovatif-pahami-konsep-abc-leadership

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke