Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

RUU TPKS, Pelindung Korban Kekerasan Seksual

Kompas.com - 01/09/2022, 23:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Zen Wisa Sartre dan Fandhi Gautama

KOMPAS.com - Bisa dikatakan RUU TPKS merupakan angin segar untuk masyarakat Indonesia, khususnya perempuan. Pasalnya, Bintang Puspayoga, selaku Menteri PPPA, mengungkapkan terdapat 10.247 kekerasan terhadap perempuan yang 15,2 persennya adalah kekerasan seksual.

Kekerasan seksual sendiri adalah tindak kejahatan yang merusak harkat dan martabat manusia. Berdasarkan yuridis, kejahatan adalah perbuatan yang dilarang dan pelaku dapat dijatuhi hukuman yang diatur undang-undang.

Aiman Witjaksono, Jurnalis KompasTV, dalam siniarnya bertajuk “Berlindung dari Kekerasan Seksual dengan RUU TPKS” memaparkan dampak positif dari diresmikannya RUU TPKS.

Maraknya Kasus Kekerasan 

Apakah RUU TPKS sudah sempurna? Tentu belum. Akan tetapi, RUU TPKS menjadi perwujudan peran negara dalam memberi proteksi semua warga negara yang sudah tertuang pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pada alinea keempat.

Lahirnya RUU TPKS menjawab keresahan korban kekerasan seksual, seperti tidak adanya kedudukan hukum terkait keadilan dan perlindungan untuk korban. Dulu, korban kekerasan enggan melapor karena tak ada payung hukum yang melindungi mereka.

Padahal, Menteri PPA mengungkapkan ada begitu banyak kekerasan terhadap perempuan, baik yang terlapor dan tidak. Itu sebabnya, hal ini menjadi pemantik terbentuknya RUU TPKS.

Kenyataannya, kekerasan dan pelecehan yang merujuk pada seksualitas masih dianggap tabu dan aib oleh masyarakat. Tidak sedikit korban yang menerima kekerasan dan pelecehan seksual malah disalahkan, terutama perempuan.

Baca juga: Fenomena Dinasti Politik di Indonesia

Persepsi negatif atas perempuan sebagai korban kekerasan dan pelecehan seksual ini terkait dengan masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut budaya patriarki.

Budaya patriarki menempatkan perempuan di posisi inferior dibandingkan laki-laki. Inferioritas yang melekat pada perempuan ini menyebabkan laki-laki lebih mendominasi. Sementara itu, perempuan hanya dipandang melalui penampilannya.

Contohnya, perempuan yang bersolek dan tampil di publik dengan pakaian terbuka akan dianggap mengundang perilaku kekerasan dan pelecehan seksual. Pelabelan ini menjadi dasar atas masyarakat yang cenderung menyalahkan perempuan sebagai korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Pelabelan tersebut menunjukkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai perbedaan antara jenis kelamin dan gender yang memperparah keadaan.

Selalu Dinomorduakan

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) mengungkapkan bahwa perempuan tidak lahir sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan. Berdasarkan ungkapan Simone tersebut, perempuan lahir sebagai manusia yang kemudian dikonstruksi dengan pelbagai nilai dan moral sehingga menjadi perempuan.

Nilai dan moral “perempuan” ini salah satunya dapat terlihat pada pemaksaan pernikahan antara korban dan pelaku pemerkosaan.

Korban pemerkosaan dianggap aib sehingga masyarakat berpikir kalau menikah dapat menyelesaikan permasalahan. Sayangnya, pernikahan yang dipaksakan tidak membantu korban karena korban terus berada di sekitar pelaku sehingga psikisnya terus tertekan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com