Selain itu, usulan mengubah UU TNI untuk tujuan tersebut juga tidak bisa diterima dalam konteks demokrasi.
Menurutnya, antara jabatan sipil dan militer di semua negara demokrasi tidak bisa dianggap sebagai satu kesatuan. Sebab, pola pengambilan keputusan dan pendekatan yang digunakan dalam militer tidak demokratis.
"Karena mereka memang dididik dan harus mengambil keputusan untuk kepentingan defence," ujarnya.
"Kan tidak mungkin, misalnya kalau negara kita diserang, terus mereka harus rapat dulu, musyawarah untuk mufakat apakah bertahan atau tidak, kan tidak begitu, pendekatannya pasti komando," lanjutnya.
Baca juga: Usul Luhut Perwira TNI Masuk Kementerian, Mesti Dibatasi dan Perjelas Aturan Main
Menurut Bivitri, masalah tentara tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia. Namun menurutnya juga terjadi di semua militer dunia. Karena itu, Bivitri menyebut militer tidak kompatibel dengan democratic governance.
Ia menjelaskan, jabatan-jabatan sipil di pemerintahan memang harus diisi oleh sipil karena pendekatannya juga demokratis, serta pengambilan keputusannya terbuka dan transparan.
"Secara struktur harusnya berdasarkan kapasitas kompetensi. Kalau tentara kan berdasarkan hierarki-hierarki yang harus ditempuh dari atas ke bawah," kata dia.
Apaila ingin menduduki jabatan sipil, maka tentara harus mengundurkan diri terlebih dahulu.
Pengunduran diri pun harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu sebelum mengemban jabatan sipil.
"Jadi tidak bisa seseorang mundur terus besoknya menduduki jabatan sipil, itu pendekatan keliru," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.