Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Toto TIS Suparto
Editor Buku Lepas, Ghostwritter

Editor Buku

"Jangan Panggil Saya Pak Haji"

Kompas.com - 24/07/2022, 12:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Selamat datang di Tanah Air, Pak Haji. Semoga nular ke teman-teman," komen saya ke grup WhatsApp teman-teman semasa SMA.

Komen ini merupakan respons ketika ada postingan seorang teman pulang dari Tanah Suci.

Pak Haji yang saya maksud ini adalah salah seorang dari 100.051 calon haji Indonesia yang berangkat ke Rumah Allah di Tanah Suci. Angka itu terdiri dari 92.825 kuota haji reguler dan 7.226 kuota haji khusus.

Per Sabtu (17/7/2022 ) malam, ratusan jamaah haji kloter pertama asal Indonesia tiba di Tanah Air.

Mereka tiba di Indonesia melalui Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Banten, dengan disambut oleh dua menteri, yakni Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Agama Ad Interim Muhadjir Effendy. Para jemaah haji itu tiba tepat pukul 00.05 WIB.

Saya tak tahu persis Pak Haji ada di kloter berapa. Cuma yang diketahui dia sudah kembali ke Indonesia.

Dia sudah bagi-bagi air zam-zam. Teman tertentu diberi sajadah dan tasbih. Dia juga berpenampilan beda. Serba putih. Pakai gamis putih, dan mulut acap komat-kamit. Mungkin dia berdzikir.

Namun yang mengejutkan dia japri saya. Isinya: "Jangan panggil saya Pak Haji..." Begitu intinya.

Saya pun berdalih karena sudah menunaikan ibadah haji, tentu layak dipanggil "Pak Haji".

Bagaimanapun panggilan "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" dambaan banyak orang. Panggilan ini seolah memantapkan status sosialnya.

Jelas, hanya orang-orang mampu (punya uang untuk bayar ongkos haji) yang bisa berangkat ke Tanah Suci. Begitu menyandang haji, orang lain memandangnya sebagai "orang mampu".

Hal lain, haji juga menggambarkan status religiositas seseorang. Begitu menyandang haji, maka orang lain akan menganggapnya sebagai orang alim. Dari haji bisa diteladani nilai-nilai religiositas.

Tetapi teman saya tadi bersikap lain. Dia enggan dipanggil "Pak Haji" karena beban status religiositas tersebut.

Dia mengaku belum saatnya jadi teladan walau sudah berhaji. Dalam pandangannya, orang yang habis berhaji itu, diharapkan punya nilai keagamaan lebih baik. Selaras dengan ini adalah moralitas ikut membaik.

Namun yang menjadi pertanyaan khalayak adalah: apakah orang sepulang haji akan menjadi manusia baru? Manusia yang mengedepankan nilai-nilai keagamaan? Semestinya begitu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com