Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Masyarakat Linguistik Indonesia
Komunitas Kajian Bahasa

Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) adalah himpunan profesi yang menghimpun bahasawan, dosen, guru, mahasiswa, peneliti, maupun pengamat bahasa atau siapa saja yang tertarik dengan kajian bahasa dari seluruh Indonesia dan bahkan mancanegara.

Pesona Nama Orang Baduy

Kompas.com - 04/07/2022, 16:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketiga, pertimbangan linguistis dilakukan dengan mengambil sebagian nama dari orangtuanya.

Anak perempuan akan mengambil dari nama ayahnya, sedangkan anak laki-laki dari ibunya. Bagian nama yang diambil itu biasanya suku kata awal.

Misalnya, anak perempuan yang bernama Arsunah, Calinah, Sani memiliki hubungan dengan suku awal nama ayahnya, Ardi, Caiwin, Sadi.

Begitu pula dengan nama anak laki-laki, Caikin, Sarda, Taki diambil dari suku awal nama ibunya, Caiah, Sarti, Taci. Intinya, harus ada keterkaitan walaupun hanya satu huruf.

Pemberian nama anak pertama ini menentukan panggilan kepada orangtuanya, yaitu dengan menambahkan ayah dan ambu di depan nama si anak (Ayah Sani, Ambu Sani).

Panggilan baru ini akan terus digunakan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan sampai ada orangtua yang lupa pada nama aslinya sendiri.

Bersifat sakral

Nama yang diberikan kepada seorang anak bukanlah asal-asalan, melainkan hasil “kontemplasi” selama tiga hari tiga malam.

Oleh karena itu, pemberian nama bagi masyarakat Baduy merupakan peristiwa yang sakral karena melewati beberapa tahapan ritual.

Pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi (tujuhna), orangtua mendatangi sesepuh untuk meminta nama yang cocok sambil menyerahkan seupaheun berupa daun sirih, pinang, dan gambir yang diletakkan di tengah kain putih persegi empat, lalu dilipat berbentuk tas jinjing supaya bisa digendong.

Setelah mendapat petunjuk dari karuhun, ketika si orangtua bayi datang lagi, sesepuh menyampaikan nama yang diperoleh dari impiannya tersebut.

Baca juga: Mengenal Mata Pencaharian Warga Baduy di Pedalaman Banten

Selanjutnya, setelah bayi mendapatkan nama, ritual peureuhan ‘selamatan pemberian nama’ pun dilaksanakan dengan mengundang para kerabat dan tetangga.

Pada acara peureuhan ini, hal yang wajib ada adalah seupaheun tadi, yang ditaruh di atas bokor untuk disajikan dan dimakan bersama oleh para tetua kampung.

Setelah acara pokok selesai (makan sirih), selanjutnya tetamu menyantap hidangan. Acara peureuhan ini cukup meriah karena dihadiri pula oleh pemuda-pemudi.

Bernilai filosofis

Adakalanya juga nama yang diberikan tidak cocok. Misalnya, si bayi cecegékan, yaitu sering menangis, sering cedera, sakit-sakitan, bahkan meninggal dunia.

Untuk mengatasinya dilakukan cara seolah-olah bayi itu “dibuang” ke paraji (dukun beranak) untuk di-pulung ‘diambil, dipungut’.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com