Oleh: Fauzi Ramadhan dan Fandhi Gautama
KOMPAS.com - Nanging saiki wis dadi kenangan
Aku karo koe wes pisahan
Aku kiri koe kanan, wes bedo dalan
Beberapa waktu lalu, sebuah lagu bernama “Mendung Tanpo Udan” yang dinyanyikan Ndarboy Genk trending di YouTube. Ketika artikel ini ditulis, video klip lagu galau berbahasa Jawa ini berhasil meraup sekitar 65 juta penonton sejak perilisannya pada 5 Juli 2021.
Lagu ini menceritakan sepasang kekasih yang harus berpisah. Meskipun menyakitkan, pada akhirnya mereka harus bisa merelakan satu sama lain dan meninggalkan segala keinginan yang dahulu dibuat bersama.
Ndarboy Genk memang penyanyi yang mempopulerkan lagu ini. Akan tetapi, ia ternyata bukanlah penyanyi aslinya. Berasal dari Bantuk, Daerah Istimewa Yogyakarta, penyanyi asli dari lagu “Mendung Tanpo Udan” adalah Kukuh Prasetyo atau kerap disapa Kukuh Kudamai.
Melalui siniar (podcast) Beginu episode “Sedia Payung untuk Mendung Tanpo Udan” di Spotify, Kukuh berbincang-bincang bersama Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi KOMPAS.com, perihal latar belakang dibuatnya lagu tersebut dan bagaimana ia harus menghadapi star-syndrome dari kesuksesan lagu ini.
“Aku menulis ‘Mendung Tanpo Udan’ di Jakarta, (tepatnya) Palmerah, Kebon Jeruk,” ungkap Kukuh.
Baca juga: Melirik Potensi UMKM sebagai Pendorong Ekonomi Kerakyatan
Kukuh jauh-jauh datang ke Jakarta bukan untuk bertamasya, melainkan karena mendapat tawaran syuting dari sebuah film.
Namun, nasib baik ternyata tidak berpihak kepadanya pada saat itu. Setelah tiba di Jakarta, kontrak kerja miliknya diputus di tengah proyek sehingga ia harus berhenti bekerja.
Kesialan yang dialami Kukuh tidak berhenti di situ saja. Pandemi membuat nasibnya semakin parah. Ia bahkan tidak bisa pulang ke kampung halaman karena adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Rasa bingung berkecamuk di dalam dirinya akibat nasib buruk itu. “Aku diem, (bahkan) berbulan-bulan tidak ngapa-ngapain,” tutur Kukuh.
Meskipun begitu, kebingungan yang dialami Kukuh pada akhirnya menemui titik terang. Berawal dari melihat teman-temannya yang sibuk bekerja, ia jadi merasa harus berlaku demikian.
“Kok bisa, ya, mereka kerja di saat pandemi ini? Aku orang kesenian kok malah stagnan,” heran pria lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut.
“Aku bisa gak, ya, kerja kayak mereka?” tambah Kukuh menginstropeksi diri.
Kemudian, pada suatu sore, dirinya larut termenung memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Sebatang rokok dan secangkir teh beserta gelapnya langit Jakarta akibat mendung mau hujan, membantunya untuk berpikir.
Baca juga: 20 Tahun sebagai Jurnalis, Aiman Witjaksono Bicara Momen Penting