SEJAUH ini, bila kita membicarakan MEF atau Minimum Essential Force selalu mengundang kontroversi. Kontroversi akan selalu muncul selama tidak ditemukan acuan bakunya. Acuan baku dalam hal ini adalah terminologi minimum, yang pasti akan mengandung makna minimum dari atau terhadap apa.
Essential force, dapat saja diartikan sebagai kebutuhan sebenarnya dan atau kebutuhan yang merupakan inti atau esensi dari kebutuhan itu sendiri. Dalam bayangan, maka essential force adalah kebutuhan riil dari satu kekuatan yang ingin dibangun. Bila itu memang sudah ada, maka dipastikan essential force akan berwujud atau seyogyanya berwujud sebagai master plan dari satu kekuatan inti angkatan perang yang diinginkan.
Pertanyaannya adalah apakah master plan tersebut sudah ada?
Baca juga: Panglima TNI Targetkan Minimum Essential Force 70 Persen Akhir 2024
Sejauh ini, MEF memberikan kesan satu program pembentukan kekuatan minimal bagi angkatan perang kita. Minimum dalam hal ini lebih terkesan disebabkan oleh keterbatasan dana yang tersedia. Lebih jauh lagi, selama ini MEF juga mengesankan bertujuan hanya kepada pengadaan atau procurement dari alat utama sistem senjata (alutsista) TNI. MEF yang diakibatkan oleh keterbatasan dana dan hanya “seolah-olah” berbicara masalah pengadaan alutsista, juga terkesan masih mandiri terdiri dari masing-masing angkatan.
Paling tidak, dari pengamatan selama ini belum terlihat benar keterpaduan dalam perencanaan yang direfleksikan pada pengadaan alutsista tersebut. Selain tidak mengesankan keterpaduan, terlihat pula bahwa penggunaan dana dalam pengadaan alutsista terkesan juga terkonsentrasi pada pembelian saja. Dalam hal ini, tidak terlihat dengan jelas, bagaimana dukungan dana pemeliharaan sebagai akibat dari pengoperasian peralatan alutsista tersebut dan beberapa faktor lain terkait.
Hal ini, sangat mudah terlihat kemudian dari “kesiapan” alutsista pasca-pengadaan selesai dilakukan. Demikian pula tidak tergambar dengan baik, proses dari related program sebagai aliran dari proses pengadaan satu sistem senjata. Misalnya, paket pelatihan SDM (sumber daya manusia) terkait dan pengadaan peralatan dukungan, baik operasional maupun pemeliharaan. Belum lagi paket security – pengamanan terhadap aneka software yang digunakan atau akan digunakan.
Satu “postur kekuatan perang”, seyogyanya tertuang dalam sebuah master plan yang berjangka panjang, bernilai strategis, komprehensif, berkelanjutan dan merefleksikan keterpaduan matra dalam konteks "combat readiness" yang diinginkan sesuai tugas pokok yaitu menjaga kedaulatan negara. Hal ini biasanya merupakan bagian inti dari satu sistem pertahanan satu negara, yang mengalir dari kebijakan nasional negara (national interest).
Dalam mencapai tujuannya , satu negara akan berhadapan dengan dua aspek yang pokok yaitu security dan prosperity. Dalam aspek security inilah, sistem pertahanan negara biasanya dituangkan yang nantinya akan berwujud antara lain susunan unsur tempur atau postur angkatan perang yang dirumuskan ke dalam satu pola yang dikenal dengan terminologi “combat readiness”.
Dalam format yang sederhana, pertahanan satu negara adalah laksana pagar dari satu rumah kediaman, dalam kerangka mengantisipasi bahaya ancaman yang datang dari luar. Itu sebabnya setiap negara akan berusaha membangun pagar keamanan bagi negaranya di daerah perbatasan negara.
Sejarah dunia mencatat bahwa lebih dari 60 persen penyebab perang adalah sengketa perbatasan atau border dispute. Pada kenyataannya, tidaklah mungkin satu negara membangun pagar di sepanjang kawasan perbatasannya. Maka yang menjadi prioritas adalah daerah perbatasan yang kritis (critical border) yang dibangun pagarnya.
Sekedar contoh, tembok China, tembok Berlin dan SDI-nya Ronald Reagan adalah pagar dan atau pagar imajiner yang dibangun di sepanjang critical border dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara terhadap kemungkinan datangnya ancaman yang mungkin terjadi.
Baca juga: Meski Anggaran Terbatas, TNI Wajib Penuhi Minimum Essential Force
Kesemua itu adalah bagian yang utuh dari upaya satu negara menjaga kedaulatannya, kehormatannya sebagai satu bangsa. Di darat, banyak masalah yang dihadapi di daerah perbatasan di Kalimantan, Papua, dan beberapa tempat lainnya. Di Laut, kita berhadapan dengan banyak masalah pencurian kekayaan laut kita yang sangat luas itu, serta banyaknya nelayan kita yang ditangkap oleh pihak keamanan negara lain di wilayah perairan kita sendiri.
Di udara begitu banyak masalah penerbangan liar yang tidak sanggup kita awasi dan atasi dengan baik, sementara beberapa bagian wilayah udara kedaulatan kita berada dalam “pengaturan” negara lain atas nama “International Aviation Safety Standard”. Itu hanyalah beberapa topik yang sangat mudah untuk diangkat dalam konteks “ancaman terhadap kedaulatan negara” kita.
Di sisi lain, Negara Republik Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang, alangkah tidak mungkin kita dapat memagari seluruh kawasan perbatasan negeri ini. Lalu bagaimana dan di mana perbatasan kritis yang harus menjadi prioritas untuk segera dipagari.
Beberapa pertimbangan berikut ini, akan membawa kita kepada satu kesepakatan, di mana gerangan letak daerah perbatasan kritis dari Negara Kesatuan Repubblik Indonesia: 90 persen global transportasi komersial diangkut melalui laut, dengan jumlah kapal kargo yang mencapai jumlah lebih kurang 53.000 kapal. Lebih dari separuh angkutan laut komersial dunia melewati Selat Malaka, Selat Sunda/Karimata, dan Selat Lombok/Makassar.