Idealnya, tujuan membeli buku adalah untuk dibaca, bukan semata-mata untuk ditumpuk atau dipajang.
Kalau hanya untuk pajangan atau untuk prestise, maka kandungan atau isi buku yang merupakan hasil pemikiran para penulis itu tak akan berfaedah.
Akhirnya, buku-buku itu semakin lama berubah warna, mulai rusak, dan lapuk bersamaan dengan bergulirnya waktu.
Bukunya sampai lapuk, tapi isinya tak terserap. Lagi pula buku yang disimpan terlalu lama dan tidak dirawat sangat riskan dimakan rayap.
Mengurangi Tsundoku
Lantas, apa upaya yang bisa ditempuh untuk mengurangi atau menghindari perilaku tsundoku itu? Adakah cara yang bisa membawa orang yang membeli buku untuk dibaca, tak sekadar dipajang?
Memang harus diakui, kalau sudah menjadi kebiasaan, perilaku tsundoku akan sulit diubah. Kalau mau berhasil, diperlukan usaha keras dan konsisten untuk keluar dari kebiasaan tersebut.
Berikut ini beberapa upaya yang bisa dilakukan yang didasari dengan sejumlah pertimbangan yang masuk akal.
Pertama, membeli buku yang berkualitas.
Apakah Anda membeli sembarang buku? Asal menarik judulnya, lantas Anda beli? Tentu saja tidak, bukan?
Orang yang akan membeli buku biasanya akan memeriksa terlebih dahulu isi buku tersebut.
Beberapa pertanyaan bisa diajukannya kepada diri sendiri sembari membuka-buka dan membaca secara sepintas buku yang sedang dipertimbangkan untuk dibeli.
Misalnya, apakah buku tersebut sesuai dengan kebutuhan atau minat? Apakah buku itu merupakan buku terbitan yang terlaris atau bestseller?
Apakah buku tersebut hasil karya pengarang ternama? Apakah bahasa di dalam buku itu mudah dipahami, mengalir lancar? Dengan kata lain, apakah buku itu enak dibaca dan perlu?
Sederet pertanyaan tersebut idealnya dijawab dengan kata ‘ya.’ Jika ada yang terjawab ‘tidak’, sebaiknya Anda pertimbangkan lagi rencana membeli buku tersebut.