Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Terpapar "Virus" Tsundoku: Membeli Banyak Buku, tapi Tak Membacanya

Tak hanya sampai di situ, virus ini bisa menguras isi kantong apabila orang sudah terpapar olehnya.

Seperti apakah virus yang satu ini? Mari kita cek lebih jauh.

Menumpuk buku

Istilah tsundoku berasal dari bahasa Jepang yang merujuk pada perilaku membeli dan menumpuk banyak buku tetapi tidak membacanya.

Wikipedia menyebut, tsundoku adalah istilah untuk menggambarkan keadaan memiliki bahan bacaan, tetapi membiarkannya menumpuk tanpa membacanya. Istilah ini mulai dikenal di Jepang pada zaman Meiji (1868-1912).

Kalau ada orang yang doyan membeli buku, tapi hanya untuk ditumpuk atau dipajang saja di rumah, itulah orang yang disebut berperilaku tsundoku.

Apakah Anda termasuk di dalamnya?

Tidak dibaca

Penulis sendiri sejak dulu suka sekali membaca buku. Belakangan, entah mengapa, dorongan membaca mulai menurun.

Tetapi anehnya, dorongan membeli buku tetap saja ada. Kalau tidak membeli buku 2-3 judul buku per bulan, rasanya ada yang kurang.

Hanya sayang, kesenangan membeli buku belakangan ini kurang dibarengi dengan dorongan untuk membaca.

Alhasil, ada beberapa buku yang belum penulis baca, menumpuk di meja belajar. Kalau saja buku itu bisa berkata, mungkin ia akan bertanya, “Kapan ya saya akan dibaca?”

Beda dengan sebelumnya, selalu ada keinginan untuk menikmati isi buku dari awal hingga akhir halaman.

Nah, belum jelas benar, apakah penulis sudah mulai terlanda virus tsundoku atau hanya kehilangan mood membaca sesaat saja.

Idealnya, tujuan membeli buku adalah untuk dibaca, bukan semata-mata untuk ditumpuk atau dipajang.

Kalau hanya untuk pajangan atau untuk prestise, maka kandungan atau isi buku yang merupakan hasil pemikiran para penulis itu tak akan berfaedah.

Akhirnya, buku-buku itu semakin lama berubah warna, mulai rusak, dan lapuk bersamaan dengan bergulirnya waktu.

Bukunya sampai lapuk, tapi isinya tak terserap. Lagi pula buku yang disimpan terlalu lama dan tidak dirawat sangat riskan dimakan rayap.

Mengurangi Tsundoku

Lantas, apa upaya yang bisa ditempuh untuk mengurangi atau menghindari perilaku tsundoku itu? Adakah cara yang bisa membawa orang yang membeli buku untuk dibaca, tak sekadar dipajang?

Memang harus diakui, kalau sudah menjadi kebiasaan, perilaku tsundoku akan sulit diubah. Kalau mau berhasil, diperlukan usaha keras dan konsisten untuk keluar dari kebiasaan tersebut.

Berikut ini beberapa upaya yang bisa dilakukan yang didasari dengan sejumlah pertimbangan yang masuk akal.

Pertama, membeli buku yang berkualitas.

Apakah Anda membeli sembarang buku? Asal menarik judulnya, lantas Anda beli? Tentu saja tidak, bukan?

Orang yang akan membeli buku biasanya akan memeriksa terlebih dahulu isi buku tersebut.

Beberapa pertanyaan bisa diajukannya kepada diri sendiri sembari membuka-buka dan membaca secara sepintas buku yang sedang dipertimbangkan untuk dibeli.

Misalnya, apakah buku tersebut sesuai dengan kebutuhan atau minat? Apakah buku itu merupakan buku terbitan yang terlaris atau bestseller?

Apakah buku tersebut hasil karya pengarang ternama? Apakah bahasa di dalam buku itu mudah dipahami, mengalir lancar? Dengan kata lain, apakah buku itu enak dibaca dan perlu?

Sederet pertanyaan tersebut idealnya dijawab dengan kata ‘ya.’ Jika ada yang terjawab ‘tidak’, sebaiknya Anda pertimbangkan lagi rencana membeli buku tersebut.

Buku yang berkualitas bagus bisanya merupakan buku-buku laris, dari pengarang terkenal, dengan bahasa yang mudah dipahami. Di samping itu, buku itu juga sesuai dengan kebutuhan atau minat si pembeli.

Jika syarat ini dipenuhi, penulis memiliki keyakinan Anda akan membacanya sampai di rumah. Anda akan tergoda untuk segera mengetahui isinya, lalu menetapkan waktu untuk bisa secara rutin membacanya dari hari ke hari hingga selesai.

Sebaliknya, jika buku tersebut tidak berkualitas lantaran tidak diperiksa dengan teliti pada saat membeli, maka pantas saja Anda akan kehilangan gairah membaca. Oleh karena itu, belilah hanya buku-buku yang berkualitas bagus.

Kedua, kontrol dorongan untuk membeli buku. Membeli buku itu bagus, bukan? Tidak juga ada yang melarang.

Tapi, kalau orang terus-menerus memborong buku dari toko buku, tapi setibanya di rumah hanya untuk ditumpuk atau dipajang?

Oleh karena itu, ketika muncul dorongan untuk membeli buku, pertimbangkanlah dengan matang, apaka Anda akan membacanya sampai di rumah? Apakah buku-buku hanya akan memenuhi rak buku dan meja tanpa pernah disentuh?

Seyogianya kita bisa menahan dorongan membeli buku dengan mengingat buku-buku di rumah yang belum dibaca sama sekali.

Sebaiknya baca buku-buku yang ada di rak buku Anda sebisanya dibaca sampai habis sebelum memutuskan untuk membeli buku-buku baru lagi.

Kalau kontrol ini tak dilakukan, bukan tidak mungkin buku-buku yang Anda boyong dari toko buku akan bernasib sama dengan pendahulunya: menjadi penghuni rak, tanpa pernah dibaca oleh sang empunya.

Ketiga, alokasikan waktu untuk membaca. Buku-buku yang kita beli baru bisa memberikan manfaat optimalnya apabila si pemilik membacanya.

Jika hanya untuk dipajang, maka tujuan utama dibuatnya buku akan tidak terwujud. Tujuan utama buku-buku diterbitkan adalah untuk dibaca, bukan?

Motivasi untuk memajangnya -- kalau ada, menempati urutan kedua atau ketiga dari buku itu. Jadi, kita akan mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari sebuah buku hanya dengan membacanya.

Memperlakukan buku secara terhormat tidak dengan meletakkannya di dalam rak dengan demikian rapinya lalu memandangnya dengan penuh kebanggaan.

Menghormati keberadaan sebuah buku justru dengan membaca isinya, memahami materi yang terkandung di dalamnya, menginternalisasi pemikiran yang tersimpan dalam buku sehingga bisa menambah pengetahuan dan kebijaksanaan hidup. Anda sependapat?

https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/21/112421465/terpapar-virus-tsundoku-membeli-banyak-buku-tapi-tak-membacanya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke