POLITIK sepatutnya tidak melulu bicara tentang siapa yang berkuasa, siapa dapat apa, maupun kegaduhan yang timbul sebagai konsekuensi. Bagi saya pribadi, publik jengah bila dihadapkan dengan situasi politik yang itu-itu saja: buat pernyataan di media, viral, kemudian disanggah oleh oposisi, debat kusir, dan tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat. Padahal almarhum Professor Miriam Budiardjo (2002) dengan tegas menyatakan keberadaan politik sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Di era saat ini, angin segar di kancah perpolitikan datang dari para komika. Ya, komika yang saya maksud ini adalah individu yang diberi spotlight membawakan satu atau dua materi humor dalam durasi singkat (sekitar 7-8 menit) dan mampu mengocok perut orang yang mendengarnya.
Profesi komika sedang naik daun. Gaya hidup mereka sudah bak selebritas, dari panggung ke panggung. Meski demikian, komika bukan sekadar selebritas, atau sekadar pelawak saja. Bagi saya, mereka adalah aktor politik. Beberapa komika di Indonesia memiliki kemampuan komunikasi politik ulung. Antara lain adalah Arie Kriting, Abdur, Mamat Alkatiri, Pandji Pragiwaksono, Bintang Emon, Kiky Saputri, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Baca juga: Kiky Saputri Cerita soal Roasting Pejabat hingga Siap Diminta Roasting Presiden
Keberadaaan dari para komika ini begitu penting dalam konstelasi perpolitikan Indonesia. Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, materi humor yang dibawakan oleh komika didasari oleh fakta. Pada umumnya, komika menyajikan materi yang berasal dari pengalaman pribadi mereka atau cerminan kondisi sosial yang dialaminya. Berangkat dari fakta tersebut, para komika menguntai kata per kata secara detail dengan tujuan merangsang pendengarnya tertawa.
Kedua, publik dapat melek politik karena materi yang dibawakan secara jenaka. Materi jenaka dengan durasi singkat berbasis pada fakta umumnya dapat lebih menempel di benak publik, ketimbang pidato politik berdurasi 20 menit. Ada sebuah perasaan positif setelah mendengarnya, sehingga terekam sebagai kenangan dalam benak publik.
Ketiga, simplifikasi isu yang kompleks. Para komika kita patut dapat apresiasi tinggi karena bisa membantu membumikan isu politik rumit agar mudah dipahami masyarakat umum. Misalnya Arie Kriting, Abdur Arsyad, dan Mamat Alkatiri yang kerap menjadikan ketimpangan pembangunan maupun literasi yang terjadi di Indonesia Timur. Materi tersebut pun mendapat spotlight di media nasional melalui humor.
Keempat, menguji kedewasaan politisi. Hal ini saya intisarikan dari pemikiran almarhum Ketua Lembaga Humor Indonesia Arwah Setiawan (2020), di mana materi humor komika umumnya menyindir kelakuan politisi. Kiky Sapturi terkenal sebagai komika yang pernah me-roasting Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di salah satu acara TV swasta. Sindiran maupun satir yang dilontarkan Kiky tidak direspon berlebihan oleh Anies.
Agar pesan implisit dari materi humor yang disajikan bisa berdampak, maka komika harus memercayai yang disampaikan. Bahkan, mereka juga harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka peduli dan mempercayai hal-hal politis yang diperjuangkan. Tanpa kedua hal tersebut, ucapan komika tidak akan memiliki bobot atau hanya lelucon belaka.
Profesi komika tidaklah lepas dari risiko. Seorang komika perlu membuat batas yang tegas lebih dulu sebelum melontarkan materi humor mereka. Bila menyampaikan materi di dalam sebuah acara komedi, komika bisa dibilang berada dalam “safe space” atau ruang aman. Dalam kondisi tersebut, publik yang menjadi penonton di acara tersebut sudah memiliki pola pikir bahwa mereka akan mendengar materi humor.
Bila materi yang disampaikan termasuk sebagai ‘komedi pinggir jurang’ (istilah yang dipakai dalam acara Disomasi yang ditayangkan di YouTube Dedy Corbuzier), tidak akan jadi persoalan. Publik berusaha memahami dan mengendorkan urat saraf karena tahu materi tersebut humor. Meski demikian, konteks yang disampaikan tidak akan hilang. Sindiran atas fakta dibalut jenaka tidak akan menguap begitu saja, melainkan terus menempel di ingatan.
Lebih lanjut, Bintang Emon yang menerima serangan di media sosial dari pihak tertentu akibat video sindiran atas tuntutan pelaku penyerangan Novel Baswedan. Kasus tersebut terjadi karena komika belum membuat boundary sehingga publik yang mendengarnya tidak menyesuaikan konteks.
Baca juga: Pandji Pragiwaksono Kejar Impian Jadi Komika di New York
Di masa lampau, profesi komika ini belum dengan jelas terbentuk, meski praktik-praktiknya sudah ada. Oleh karena itu, tidak ada safe space yang melindungi individu ketika melontarkan humor yang beririsan dengan politik.
Selain membuat batasan, profesi komika begitu berisiko bila dilakukan di dalam lingkungan yang non-demokratis. Sebagai contoh, pastor Joseph Muller divonis hukuman mati karena membuat humor tentara Nazi sekarat yang meminta foto Hitler. Maka dari itu, Holm (2017) dalam bukunya berjudul Humor as Politics menegaskan bahwa iklim demokrasi menjadi elemen penting agar humor dan politik bisa bersatu.
Sebagai penutup, komika di Indonesia sebaiknya tidak dipandang sebelah mata. Sebagai seniman kata mereka patut diapresiasi. Sebagai komunikator politik, komika dapat membuka pemikiran seseorang dalam kondisi yang lebih adem.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.