HUMOR sangat dekat dengan keseharian dan digemari masyarakat karena 'efek' sampingnya yang bisa membuat kita bahagia, tertawa terpingkal-pingkal, dan membawa kita keluar sejenak dari sekelumit permasalahan hidup yang membuat kita pusing.
Di Indonesia, humor juga telah menjadi bagian dari kesenian rakyat, seperti ludruk, ketoprak, lenong, wayang kulit, wayang golek, dan sebagainya (Rahmanadji dalam artikel "Sejarah, Teori, Jenis, dan Fungsi Humor").
Dalam konteks modern, beberapa nama grup komedian tidak asing di telinga kita seperti Warkop DKI, Bagito, Srimulat, Patrio, Empat Sekawan, dan beberapa tokoh kartun lokal seperti Doyok, Benny dan Mice, dan masih banyak lagi.
Baca juga: Humor Tidak Selalu Lucu
Sebagai bagian dari budaya populer, setidaknya dalam 17 tahun terakhir humor dijadikan ajang kompetisi di acara televisi dan telah melahirkan banyak wajah komedian atau komika baru yang siap menghibur masyarakat dengan kekhasannya masing-masing.
Mendefinisikan humor ke dalam pengertian yang tunggal adalah pekerjaan mustahil karena humor memiliki ragam arti dan fungsi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu tulisan ini akan merujuk beberapa konsep relevan tanpa bermaksud mereduksi kompleksitas maknanya.
Humor sudah ada sejak ribuan tahun lalu ketika manusia mengenal bahasa (mungkin lebih tua dari itu), dan secara asal-usul humor berasal dari kata Latin umor yang bermakna 'cairan'.
Sejak 400 tahun SM, orang Yunani Kuno percaya bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat jenis cairan di dalam tubuh mereka, antara lain darah (sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy).
Setiap cairan tersebut memiliki karakteristik tertentu yang sangat mempengaruhi suasana hati manusia dan kadarnya harus seimbang karena kelebihan salah satu di antaranya akan membawa manusia pada suasana hati tertentu (Manser, 1989).
Dikutip dari kamus Cambridge, humor diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dipikirkan, dan memiliki kemampuan untuk membuat orang tertawa. Sedangkan menurut Kuiper humor merupakan stimulus yang dapat memicu tawa pada individu seperti lelucon, cerita lucu, gambar/kartun lucu, situasi memalukan, dan yang membantu individu untuk tertawa dan merasa bahagia (Ripoll dalam Afriani, 2015).
Sejak dulu, humor kerap digunakan sebagai strategi penyampaian pesan tertentu oleh penggunanya, misalnya saja dalam konteks pewayangan seperti Punakawan humor digunakan untuk menyampaikan pesan mendidik dan bijak dalam tradisi budaya Jawa (Hendarto, 1990).
Beberapa tokoh menggunakan humor untuk meraih simpati publik dalam kontestasi politik, seperti komedian Volodymyr Zelensky yang sekarang menjabat sebagai Presiden Ukraina dan Marcus Tullius Cicero, seorang politisi dan konsul Romawi Kuno (setara presiden) yang tercatat sering memenangkan perkara politik dengan menggunakan humor.
Menurut Cicero, humor secara potensial mampu meruntuhkan batas antara seorang orator dan komedian, dan jika digunakan dengan kadar yang tepat dan bijak di hadapan publik, humor bisa memenangkan kuasa sosial hingga politik.
Dalam konteks saat ini, adaptasi humor semakin relevan digunakan sebagai strategi komunikasi, mulai dari pemuka agama, politisi, content creator, pejabat negara, dosen, hingga kepala negara yang merasa tidak ragu untuk menggunakan humor ketika berkomunikasi dengan khalayak.
Humor merupakan situs ideal untuk melihat dominasi ideologi tertentu melalui ketidaksesuaian dan ini bisa dijelaskan dengan teori inkongruen (incongruity theory) yang menurut Oxford Online Dictionary of English, berarti ‘tidak selaras’ dengan lingkungan atau aspek lain dari sesuatu sehingga apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataannya, sehingga semakin tidak terduga, maka akan semakin lucu humornya (Morreall, 1987).
Contohnya, sebagian masyarakat kita akan tertawa terpingkal-pingkal melihat perempuan bertubuh gemuk mengenakan baju super ketat yang menonjolkan lemak tubuhnya atau melihat laki-laki “maskulin” mengenakan daster.