Targetnya, tahun 2024, Paris sudah terbagi dalam kawasan-kawasan permukiman, di mana berbagai kegiatan penduduk di kawasan itu dapat dilakukan dalam waktu kurang dari seperempat jam. Menarik bukan?
Kota-kota di negara-negara lain sudah terlebih dulu menerapkan konsep kota 15 menit, dengan nama dan kekhususan masing-masing.
Singapura memasukkan konsep tersebut dalam Master Plan 2040.
Shanghai dan beberapa kota lain di Tiongkok sejak 2016 sudah mengambil langkah kongkret mengimplementasikan konsep itu.
Portland di AS pada 2012 menata ulang kota untuk membentuk lingkungan-lingkungan yang komplet, agar penduduk cukup berjalan kaki atau bersepeda untuk melakukan berbagai kegiatan.
Tujuannya antara lain untuk mencegah obesitas dan agar warga dapat membeli makanan sehat sambil bergerak.
Rencana Tata Ruang Kota Melbourne 2017-2050 mengakomodasi konsep kota 20 menit, antara lain membangun baru jalur khusus sepeda.
Sepengetahuan penulis, konsep kota 15 menit tidak nyaring bergaung di Indonesia. Wacana publik tentang kota lebih mengutamakan diskusi tentang ibu kota negara.
Upaya pemerintah kota di era Covid-19 cenderung terbatas pada pembangunan jalur khusus sepeda, itupun tidak terjadi dengan mudah.
Konsep kota 15 menit seakan tidak sampai di negeri ini, kendati negara-negara tetangga sudah dalam tahap pembangunan dan pemanfaatannya.
Di kalangan akademisi pun konsep kota 15 menit seperti tidak dianggap penting.
Bencana Covid-19 memang sudah reda, kita sudah siap-siap mengubah status Covid-19 dari pandemik menjadi endemik, yang terbatas pada wilayah tertentu dan tidak menular secara masif.
Hal ini dapat menjadikan orang melupakan manfaat konsep kota 15 menit. Tetapi mestinya tidak demikian.
Ada atau tidak ada pandemi, kota yang pergerakan warganya untuk berbagai keperluan didasarkan pada proximity (kedekatan) akan lebih menguntungkan secara ekonomi, sosial dan lingkungan, bahkan secara psikologis, daripada kota yang mengutamakan kendaraan pribadi sebagai sarana mobilitas warga.