Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Alasan Mengapa Kita Harus Menolak Wacana Penundaan Pemilu 2024

Kompas.com - 16/03/2022, 11:30 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden semakin nyaring terdengar.

Setelah tiga pemimpin partai secara terang-terangan mendukung gagasan itu, pernyataan terbaru Presiden Joko Widodo pun dinilai tidak tegas dan semakin melunak.

Meski menyatakan kepatuhannya pada konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945, Jokowi menyebut gagasan penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena bagian dari demokrasi.

"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," kata Jokowi awal bulan ini.

Baca juga: Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Pengamat: Kepentingan Oligarki

Tak hanya di kalangan elit, gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan ini juga mulai terdengar di kalangan masyarakat.

Pakar hukum tata negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti menilai, gagasan penundaan pemilu harus ditolak karena berbagai alasan.

Merusak demokrasi

Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti saat ditemui di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2019). KOMPAS.com/Devina Halim Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti saat ditemui di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2019).

Menurut Bivitri, penundaan pemilu akan merusak pelaksanaan proses demokrasi yang sehat di Indonesia.

Sebab menurutnya, salah satu syarat demokrasi yang baik adalah pemilu yang rutin.

"Kenapa pemilu rutin penting bagi demokrasi? Karena kita membutuhkan yang namanya sirkulasi elit. Kita membutuhkan pergantian kekuasaan yang sifatnya rutin, supaya demokrasi kita terus sehat," kata Bivitri kepada Kompas.com, Selasa (15/3/2022).

"Jadi sekali saja ditunda, maka bangunan demokrasi kita akan goyah dan kemudian runtuh," sambungnya.

Hal ini bukan tanpa alasan. Bivitri mengemukakan pengalaman masa lalu di Indonesia yang beberapa kali pernah menunda pelaksanaan pemilu.

Misalnya, pemilu yang seharusnya digelar pada 1959, ditunda oleh Presiden Soekarno dengan alasan keamanan.

Baca juga: Kritik Pedas AHY soal Wacana Pemilu Ditunda: Singgung Pemimpin Lupa Turun Takhta-Presiden Seumur Hidup

 

Sejarah penundaan pemilu

Pemilu 1977.KOMPAS/Dudi Sudibyo Pemilu 1977.

Kemudian, penundaan pemilu juga dilakukan pada 1968 oleh Presiden Soeharto. Diyakini, penundaan ini dilatarbelakangi oleh basis pendukung Soekarno yang masih kuat.

Pemilu selanjutnya baru digelar pada 1971, dengan peserta pemilu yang semakin sedikit.

"Jadi kalau kita baca sejarah, pemilu pertama itu 1955, pemilu kedua itu baru 1971. Setelah itu 1976 harusnya pemilu, tapi baru terjadi 1977," jelas dia.

"Itu salah satu akibatnya adalah peserta pemilu yang tadinya banyak sekali pada 1955, tahun 1971 oleh Soeharto dibikin jadi 10, kemudian tahun 1977 hanya punya tiga peserta pemilu," lanjutnya.

Bagi Bivitri, sejarah telah menunjukkan bahwa penundaan pemilu mengindikasikan adanya perusakan demokrasi.

Baca juga: Sikap Berbagai Partai terhadap Wacana Penundaan Pemilu 2024

Inkonstitusional

Cagub DKI Jakarta Joko Widodo (kiri), Cawagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan) saat menghadiri kampanye terbuka di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Minggu (1/7/2012). Dalam pidatonya Jokowi menyesalkan dana APBD DKI Jakarta saat ini yang tidak tepat guna. KOMPAS IMAGES/MUNDRI WINANTO Cagub DKI Jakarta Joko Widodo (kiri), Cawagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan) saat menghadiri kampanye terbuka di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Minggu (1/7/2012). Dalam pidatonya Jokowi menyesalkan dana APBD DKI Jakarta saat ini yang tidak tepat guna.

Selanjutnya Bivitri memaparkan, konstitusi sudah menuliskan secara gamblang mengenai rutinitas pemilu dalam UUD Pasal 22E.

Dalam pasal itu, disebutkan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan lima tahun sekali.

"Artinya, kalau ada penundaan pemilu, harus ada amandemen yang sifatnya politis, misalnya melalui KPU. Tapi, apa pun jalannya, ini sebenarnya inkonstitusional," ujarnya.

Jika penundaan pemilu benar-benar terjadi, jelas dia, ini akan memberikan kepercayaan diri kepada penguasa bahwa mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan.

Dengan kepercayaan itu, anggapan mereka adalah rakyat sipil tak mungkin untuk mengatakan tidak.

Karenanya, Bivitri meminta agar masyarakat tidak diam dan menolak dengan tegas wacana penundaan pemilu tersebut.

"Saya kira harus diberi pelajaran juga para elit itu, bahwa namanya demokrasi, kedaulatan itu di tangan rakyat, tidak bisa main-main," kata dia.

"Bahkan ketika suatu rencana yang sesungguhnya inkonstitusional, malah konstitusinya yang mau diubah. Jadi kita harus keras menyuarakannya," tambahnya.

Baca juga: PSHK: Alasan Darurat Tak Serta-merta Bisa Jadi Alasan Tunda Pemilu

 

Pembodohan publik

Kampanye Jokowi-Ma'ruf bertajuk Konser Putih Bersatu di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).KOMPAS.com/Ihsanuddin Kampanye Jokowi-Ma'ruf bertajuk Konser Putih Bersatu di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

Terakhir, Bivitri menyebut semua alasan yang dikemukakan oleh para penguasa terkait penundaan pemilu, semuanya tidak masuk akal.

Beberapa alasan yang muncul adalah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, bersamaan dengan pemindahan ibu kota negara, dan adanya konflik Rusia-Ukraina.

"Kita harus menyuarakan, bahwa warga masih punya akal sehat, semua alasan yang dikemukakan oleh penguasa itu sebenarnya tidak masuk akal," tuturnya.

"Kalau kita diam saja, kita dirusak akal sehatnya. Jika tidak ada perlawanan, maka seterusnya cara untuk melakukan pembodohan publik ini akan terus dilakukan. Jadi penolakan kita harus kuat," jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Ketahui, Ini Masing-masing Manfaat Vitamin B1, B2, hingga B12

Ketahui, Ini Masing-masing Manfaat Vitamin B1, B2, hingga B12

Tren
Uni Eropa Segera Larang Retinol Dosis Tinggi di Produk Kecantikan

Uni Eropa Segera Larang Retinol Dosis Tinggi di Produk Kecantikan

Tren
Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata, Israel Justru Serang Rafah

Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata, Israel Justru Serang Rafah

Tren
Pengakuan TikToker Bima Yudho Dapat Tawaran Endorse Bea Cukai, DBC: Tak Pernah Ajak Kerja Sama

Pengakuan TikToker Bima Yudho Dapat Tawaran Endorse Bea Cukai, DBC: Tak Pernah Ajak Kerja Sama

Tren
Mengenal Rafah, Tempat Perlindungan Terakhir Warga Gaza yang Terancam Diserang Israel

Mengenal Rafah, Tempat Perlindungan Terakhir Warga Gaza yang Terancam Diserang Israel

Tren
Fortuner Polda Jabar Tabrak Elf Picu Kecelakaan di Tol MBZ, Pengemudi Diperiksa Propam

Fortuner Polda Jabar Tabrak Elf Picu Kecelakaan di Tol MBZ, Pengemudi Diperiksa Propam

Tren
Alasan Polda Metro Jaya Kini Kirim Surat Tilang via WhatsApp

Alasan Polda Metro Jaya Kini Kirim Surat Tilang via WhatsApp

Tren
UPDATE Identitas Korban Meninggal Tabrakan KA Pandalungan Vs Mobil di Pasuruan, Berasal dari Ponpes Sidogiri

UPDATE Identitas Korban Meninggal Tabrakan KA Pandalungan Vs Mobil di Pasuruan, Berasal dari Ponpes Sidogiri

Tren
Salinan Putusan Cerai Ria Ricis Beredar di Medsos, Bagaimana Aturan Publikasi Dokumen Perceraian?

Salinan Putusan Cerai Ria Ricis Beredar di Medsos, Bagaimana Aturan Publikasi Dokumen Perceraian?

Tren
Spyware Mata-mata asal Israel Diduga Dijual ke Indonesia

Spyware Mata-mata asal Israel Diduga Dijual ke Indonesia

Tren
Idap Penyakit Langka, Seorang Wanita di China Punya Testis dan Kromosom Pria

Idap Penyakit Langka, Seorang Wanita di China Punya Testis dan Kromosom Pria

Tren
Ribuan Kupu-kupu Serbu Kantor Polres Mentawai, Fenomena Apa?

Ribuan Kupu-kupu Serbu Kantor Polres Mentawai, Fenomena Apa?

Tren
Ramai soal Susu Dicampur Bawang Goreng, Begini Kata Ahli Gizi

Ramai soal Susu Dicampur Bawang Goreng, Begini Kata Ahli Gizi

Tren
57 Tahun Hilang Saat Perang Vietnam, Tentara Amerika Ini 'Ditemukan'

57 Tahun Hilang Saat Perang Vietnam, Tentara Amerika Ini "Ditemukan"

Tren
5 Tahun Menjabat, Sekian Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR RI

5 Tahun Menjabat, Sekian Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR RI

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com