Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena Hujan Es: Penyebab hingga Tanda-tanda Akan Terjadi

Kompas.com - 27/02/2022, 08:00 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Beberapa tahun belakangan ini Indonesia mengalami hujan es di berbagai daerah. Padahal Indonesia bukan negara dengan suhu dingin ekstrem.

Tak hanya Indonesia, beberapa negara tropis juga mengalami hal serupa. Seperti India yang cukup sering mengalaminya.

Apa yang menyebabkan hal tersebut?

Baca juga: Fenomena Hujan Es Berpotensi Terjadi hingga April 2022, Ini Pemicunya

Penyebab hujan es

Dilansir Hindustan Times, 20 Februari 2022, hujan es tumbuh setetes demi setetes. Ini dimulai dari setetes air yang membeku menjadi butiran salju bundar di awan.

Fenomena ini hanya mungkin terjadi ketika suhu awan sangat rendah. Tetesan itu mengumpulkan tetesan lain dan bertambah besar.

Angin kencang dan tetesan air dingin menuju bagian atas sistem awan. Tetesan yang sangat dingin kemudian menyatu menjadi bongkahan es atau batu es.

Selanjutnya, es jatuh melalui awan, semakin besar saat jatuh ke bumi. Hujan es telah tercatat mencapai kecepatan 120-144 km per jam dan dapat melaju lebih cepat lagi.

Ketika hujan es mengenai tanah lunak, es meleleh atau pecah berkeping-keping di permukaan yang keras.

Jika batu hujan es diperiksa dengan cermat, cincin dapat terlihat di dalamnya, yang menggambarkan bagaimana batu itu membeku dalam putaran pengumpulan tetesan.

Gelembung udara kecil terkadang terperangkap di dalam batu es.

Baca juga: Kenapa Terjadi Fenomena Hujan Es di Indonesia? Berikut Penjelasannya

Tanda-tanda akan terjadi hujan es

Dikutip dari laman BMKG, 28 Maret 2017, fenomena hujan es merupakan fenomena cuaca alamiah yang biasa terjadi.

Kejadian hujan es disertai kilat/petir dan angin kencang berdurasi singkat lebih banyak terjadi pada masa transisi/pancaroba musim baik dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya.

Berikut indikasi terjadinya hujan lebat/es disertai kilat/petir dan angin kencang berdurasi singkat:

  1. Satu hari sebelumnya udara pada malam hari hingga pagi hari terasa panas dan gerah.
  2. Udara terasa panas dan gerah diakibatkan adanya radiasi matahari yang cukup kuat ditunjukkan oleh nilai perbedaan suhu udara antara pukul 10.00 dan 07.00 LT (> 4.5 derajat Celcius) disertai dengan kelembaban yang cukup tinggi ditunjukkan oleh nilai kelembaban udara di lapisan 700 mb (> 60 persen).
  3. Mulai pukul 10.00 pagi terlihat tumbuh awan Cumulus (awan putih berlapis-lapis), diantara awan tersebut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepinya sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi seperti bunga kol.
  4. Tahap berikutnya awan tersebut akan cepat berubah warna menjadi abu-abu/hitam yang dikenal dengan awan Cb (Cumulonimbus).
  5. Pepohonan di sekitar tempat seseorang berdiri ada dahan atau ranting yang mulai bergoyang cepat.
  6. Terasa ada sentuhan udara dingin di sekitar tempat seseorang berdiri.
  7. Biasanya hujan yang pertama kali turun adalah hujan deras tiba-tiba, apabila hujannya gerimis maka kejadian angin kencang jauh dari tempat tersebut.
  8. Jika 1-3 hari berturut-turut tidak ada hujan pada musim transisi/pancaroba/penghujan, maka ada indikasi potensi hujan lebat yang pertama kali turun diikuti angin kencang baik yang masuk dalam kategori puting beliung maupun yang tidak.

Baca juga: Fenomena Awan Pelangi Seusai Gempa, Apakah Keduanya Berkaitan?

Ukuran batu es di hujan es

Masih dari laman Hindustan Times, hujan es terbesar yang tercatat di dunia sejauh ini hampir 2 kilogram. Itu jatuh di Kazakstan.

Pada 2010, Dakota, AS dilempari oleh batu es raksasa berukuran 8 inci (sekitar 20 cm). Hondo Texas, negara Libya, dan beberapa tempat di Australia pada 2021 dihujani es dengan ukuran antara 6-6,4 inci.

Sebagian besar bola es besar ini datang dengan badai pada Oktober 2021.

Bisakah hujan es menyebabkan kerusakan?

Meskipun hujan es bisa dinikmati dengan bermain bersama keluarga, akan tetapi hujan es bisa menyebabkan kerusakan yang luas.

Hujan es dapat membunuh tanaman, merusak kaca, merusak jendela, bahkan dapat membunuh hewan kecil.

Diberitakan BBC, 21 Maret 2013, hujan es raksasa pernah menghantam provinsi selatan China pada 2013.

Badai hebat dan hujan es raksasa telah menewaskan sedikitnya sembilan orang dan menyebabkan kerusakan serius di seluruh provinsi selatan China.

Hujan es pernah terjadi di London ketika puncak musim panas.

Baca juga: Fenomena Spirit Doll di Kalangan Artis, Sejarah, dan Berapa Harganya?

 

Sebagaimana diberitakan The Guardian, 23 Juli 2013, hujan es terjadi pada 22 Juli 2013 malam hari.

Pengajar meteorologi di University of Reading, Dr Pete Inness, menjelaskan suhu bisa mencapai 30 derajat Celcius di tanah, tetapi suhu turun sekitar 10 derajat Celcius tiap satu kilometer ke atas, jadi tingkat pembekuannya sekitar 3.000 m di atas tanah.

"Hujan es terbentuk di awan yang berada di antara 3 km dan 10 km di atas tanah. Di puncak awan, 10 km di atas tanah, suhunya bisa -59 derajat Celcius atau -60 derajat Celcius," kata Inness.

Hujan es "duduk" di awan, menunggu waktunya, semakin besar dan besar. Akhirnya itu menjadi cukup besar untuk rontok.

Es mencair saat turun, tetapi jika terbentuk di awan yang cukup dingin, itu akan tetap membeku ketika menyentuh tanah.

Dibutuhkan hujan es sekitar satu setengah menit untuk mencapai daratan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kata Media Asing soal Kecelakaan Maut di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Kata Media Asing soal Kecelakaan Maut di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Tren
Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Tren
Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Tren
DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

Tren
Duduk Perkara Komika Gerallio Dilaporkan Polisi atas Konten yang Diduga Lecehkan Bahasa Isyarat

Duduk Perkara Komika Gerallio Dilaporkan Polisi atas Konten yang Diduga Lecehkan Bahasa Isyarat

Tren
Arab Saudi Bangun Kolam Renang Terpanjang di Dunia, Digantung 36 Meter di Atas Laut

Arab Saudi Bangun Kolam Renang Terpanjang di Dunia, Digantung 36 Meter di Atas Laut

Tren
Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Tren
Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Tren
Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Tren
Uji Coba Implan Otak Neuralink Pertama untuk Manusia Alami Masalah, Ini Penyebabnya

Uji Coba Implan Otak Neuralink Pertama untuk Manusia Alami Masalah, Ini Penyebabnya

Tren
BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

Tren
Update Banjir Sumbar: Korban Meninggal 41 Orang, Akses Jalan Terputus

Update Banjir Sumbar: Korban Meninggal 41 Orang, Akses Jalan Terputus

Tren
Ini Penyebab Banjir Bandang Landa Sumatera Barat, 41 Orang Dilaporkan Meninggal

Ini Penyebab Banjir Bandang Landa Sumatera Barat, 41 Orang Dilaporkan Meninggal

Tren
Gara-gara Mengantuk, Pendaki Gunung Andong Terpeleset dan Masuk Jurang

Gara-gara Mengantuk, Pendaki Gunung Andong Terpeleset dan Masuk Jurang

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com