Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Kebijakan Ekspor Batu Bara: Nasionalisme Ekonomi Vs Target Energi Nol Bersih

Kompas.com - 18/01/2022, 08:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA adalah pengekspor terbesar komoditas batu bara dengan memperdagangkan sebanyak 40 persen pasokan batu bara di dunia.

Pada tahun 2020 saja mengirimkan 400 juta ton ke sejumlah negara.

Indonesia meningkatkan ekspor batu bara dengan nilai mencapai 17,2 miliar dollar AS pada September 2021, meningkat 158,4 persen YoY.

Pada periode yang sama, industri batu bara berkontribusi sekitar 13 persen dari total nilai ekspor Indonesia.

Menurut Global Times (31/12), pada Senin (27/12/2021), sebanyak 12 perusahaan impor batu bara China menandatangani batch awal kontrak pasokan batu bara termal jangka menengah dan panjang untuk tahun 2022 dengan 12 perusahaan ekspor batu bara dari Rusia, Indonesia dan Mongolia selama KTT Impor-batu bara China 2021 yang diadakan di Beijing.

Batch pertama kontrak senilai 2,49 miliar dollar AS. Eksportir batu bara di ketiga negara itu akan memasok 25,82 juta ton batu bara termal ke China.

Namun, di tengah besarnya pasokan untuk pasar energi untuk pasar global, Indonesia justru menerbitkan kebijakan menangguhkan ekspor batu bara selama 1-31 Januari 2022, meskipun kebijakan tersebut telah dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo.

Dalam sudut pandang kepentingan global, keputusan Indonesia dapat menyebabkan pasokan 30 juta ton batu bara di dunia terganggu.

Efeknya akan terasa di negara mitra dagang utama Indonesia, yaitu China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Dampak berikutnya adalah negara-negara lain seperti Australia yang selama berhenti menjual batu baranya ke China akan tergerak untuk melakukannya lagi.

Agenda ekonomi vs target energi terbarukan

Analis riset senior MineLife, Gavin Wendt mengatakan, meski keputusan Indonesia membuat pasar menjadi kaget, tapi sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan karena mencerminkan agenda ekonomi nasionalis Pemerintah Indonesia: melaksanakan undang-undang untuk melindungi kepentingan Indonesia.

Pendapat tersebut tidaklah keliru. Sebab dalam konferensi pers pada Senin (3/1), pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kebijakan menangguhkan ekspor batu bara diambil untuk menghindari adanya krisis energi di dalam negeri dan risiko inflasi yang mengikuti.

Tentu saja argumen nasionalis seperti itu mesti dibaca sebagai untuk mengendalikan inflasi dan mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka pendek, bukan dalam konteks jangka panjang.

Dalam konteks jangka panjang, menunda ekspor batu bara justru membuat Indonesia ‘terlena’ sehingga terjebak pada kemandekan dalam menerapkan program energi ramah lingkungan’ atau energi baru terbarukan (EBT) yang sudah dicanangkannya sendiri.

Sebagaimana diketahui, tahun 2022 ini Indonesia menandai tonggak baru dalam perlombaan menuju energi nol bersih.

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan komitmennya untuk mencapai nol bersih pada tahun 2060 dan penghapusan Coal-Fired Power Plant (CFPP) secara bertahap pada tahun 2040-an (dengan bantuan internasional).

Meski targetnya masih berada jauh di depan dan beberapa penerapan tidak berjalan mulus, tetapi tanda kemajuan yang menggembirakan juga terlihat di ranah kebijakan dan peraturan di mana kebijakan-kebijakan utama dan peraturan seperti Nationally Determined Contribution (NDC), Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (RUPTL) 2021-2030 dan peraturan No. 26/2021 tentang Photovoltaics (PV) surya atap diperbarui dan ditingkatkan.

Skenario rendah karbon LTS-LCCR masih menggabungkan bahan bakar fosil dengan porsi tinggi ditambah Carbon Capture, Utilisation and Storage (CCUS) meskipun perkiraan menunjukkan bahwa opsi teknologi akan menjadi lebih mahal daripada energi terbarukan plus opsi penyimpanan.

Selanjutnya, penambahan kapasitas energi terbarukan meningkat di RUPTL 2021-2030 yang baru dirilis, bauran pembangkitan secara keseluruhan masih didominasi oleh batu-bara untuk sepuluh tahun ke depan.

Menunggu UU Energi Terbarukan

Upaya untuk meraih kedaulatan energi ramah lingkungan, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com