Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kebijakan Ekspor Batu Bara: Nasionalisme Ekonomi Vs Target Energi Nol Bersih

Pada tahun 2020 saja mengirimkan 400 juta ton ke sejumlah negara.

Indonesia meningkatkan ekspor batu bara dengan nilai mencapai 17,2 miliar dollar AS pada September 2021, meningkat 158,4 persen YoY.

Pada periode yang sama, industri batu bara berkontribusi sekitar 13 persen dari total nilai ekspor Indonesia.

Menurut Global Times (31/12), pada Senin (27/12/2021), sebanyak 12 perusahaan impor batu bara China menandatangani batch awal kontrak pasokan batu bara termal jangka menengah dan panjang untuk tahun 2022 dengan 12 perusahaan ekspor batu bara dari Rusia, Indonesia dan Mongolia selama KTT Impor-batu bara China 2021 yang diadakan di Beijing.

Batch pertama kontrak senilai 2,49 miliar dollar AS. Eksportir batu bara di ketiga negara itu akan memasok 25,82 juta ton batu bara termal ke China.

Namun, di tengah besarnya pasokan untuk pasar energi untuk pasar global, Indonesia justru menerbitkan kebijakan menangguhkan ekspor batu bara selama 1-31 Januari 2022, meskipun kebijakan tersebut telah dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo.

Dalam sudut pandang kepentingan global, keputusan Indonesia dapat menyebabkan pasokan 30 juta ton batu bara di dunia terganggu.

Efeknya akan terasa di negara mitra dagang utama Indonesia, yaitu China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Dampak berikutnya adalah negara-negara lain seperti Australia yang selama berhenti menjual batu baranya ke China akan tergerak untuk melakukannya lagi.

Agenda ekonomi vs target energi terbarukan

Analis riset senior MineLife, Gavin Wendt mengatakan, meski keputusan Indonesia membuat pasar menjadi kaget, tapi sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan karena mencerminkan agenda ekonomi nasionalis Pemerintah Indonesia: melaksanakan undang-undang untuk melindungi kepentingan Indonesia.

Pendapat tersebut tidaklah keliru. Sebab dalam konferensi pers pada Senin (3/1), pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kebijakan menangguhkan ekspor batu bara diambil untuk menghindari adanya krisis energi di dalam negeri dan risiko inflasi yang mengikuti.

Tentu saja argumen nasionalis seperti itu mesti dibaca sebagai untuk mengendalikan inflasi dan mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka pendek, bukan dalam konteks jangka panjang.

Dalam konteks jangka panjang, menunda ekspor batu bara justru membuat Indonesia ‘terlena’ sehingga terjebak pada kemandekan dalam menerapkan program energi ramah lingkungan’ atau energi baru terbarukan (EBT) yang sudah dicanangkannya sendiri.

Sebagaimana diketahui, tahun 2022 ini Indonesia menandai tonggak baru dalam perlombaan menuju energi nol bersih.

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan komitmennya untuk mencapai nol bersih pada tahun 2060 dan penghapusan Coal-Fired Power Plant (CFPP) secara bertahap pada tahun 2040-an (dengan bantuan internasional).

Meski targetnya masih berada jauh di depan dan beberapa penerapan tidak berjalan mulus, tetapi tanda kemajuan yang menggembirakan juga terlihat di ranah kebijakan dan peraturan di mana kebijakan-kebijakan utama dan peraturan seperti Nationally Determined Contribution (NDC), Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (RUPTL) 2021-2030 dan peraturan No. 26/2021 tentang Photovoltaics (PV) surya atap diperbarui dan ditingkatkan.

Skenario rendah karbon LTS-LCCR masih menggabungkan bahan bakar fosil dengan porsi tinggi ditambah Carbon Capture, Utilisation and Storage (CCUS) meskipun perkiraan menunjukkan bahwa opsi teknologi akan menjadi lebih mahal daripada energi terbarukan plus opsi penyimpanan.

Selanjutnya, penambahan kapasitas energi terbarukan meningkat di RUPTL 2021-2030 yang baru dirilis, bauran pembangkitan secara keseluruhan masih didominasi oleh batu-bara untuk sepuluh tahun ke depan.

Menunggu UU Energi Terbarukan

Upaya untuk meraih kedaulatan energi ramah lingkungan, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Upaya itu butuh komitmen dan penerapan secara konsisten yang didukung oleh landasan legal yang kuat.

Sejauh ini, upaya penerapan EBT masih tersendat-sendat. Salah satu kendala utamanya adalah Undang-undang (UU) EBT yang belum tersedia.

UU EBT memang telah lama ditunggu-tunggu dan Peraturan Presiden (PP) tentang Tarif EBT, dan peraturan tentang konservasi energi telah mengalami penundaan beberapa kali.

Diharapkan UU EBT, PP tentang FiT dan peraturan tentang konversi energi itu segera disusun sehingga dapat mulai diberlakukan tahun depan.

Sebab, penundaan landasan dan pedoman legal perihal EBT akan memperpanjang ketidakpastian bagi investor yang telah lama berada dalam mode menunggu dan melihat.

Dalam konteks ini maka pengembangan EBT tetap akan berjalan lamban selama tahun 2022 ini dengan kapasitas terpasang hanya meningkat sebesar 386 MW pada Q3 2021, jauh di bawah kebutuhan untuk mencapai target 23 persen.

Pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, bio-energi, dan solar PV menyumbang peningkatan masing-masing sebesar 291 MW, 55 MW, 19 MW, dan 21 MW.

PV surya atap mencapai pertumbuhan tahunan tertinggi di sekitar 17,9 MW. Sebaliknya, PLTU mengalami pertumbuhan terendah selama 5 tahun terakhir sekitar 308 MW.

Dari segi pembangkit, bagaimanapun, pembangkit batu bara masih mendominasi pembangkit listrik dengan menyumbang sekitar 66 persen dari total pembangkit listrik.

Sementara itu, energi terbarukan hanya berkontribusi sekitar 13 persen..

PLTS terapung sedang meningkat dengan tiga proyek baru yang diumumkan lebih dari 2,5 GWp: PLTS terapung 40 MWp di reservoir Nadra Krenceng dan dua proyek PLTS terapung sebesar 2,5 GWp di Pulau Batam.

Proyek Batam menjadi landmark pasar tenaga surya Indonesia karena menjadi yang pertama proyek ekspor tenaga surya dari Indonesia ke Singapura, membuka pasar baru bagi investor energi terbarukan (solar) di Indonesia.

EBT melanjutkan tren investasi yang rendah dengan hanya menerima investasi sebesar 1,1 miliar dollar AS pada Q3 2021, yang merupakan 30 persen dari total investasi di sektor kelistrikan tahun ini.

Pada periode yang sama, pembangkit listrik tenaga fosil menerima total investasi sebesar 2,5 miliar dollar AS di dalam negeri.

Sebuah terobosan besar datang dari sektor ketenagalistrikan dengan bergabungnya Indonesia dengan Filipina dan Vietnam dalam Energy Transition Mechanism (ETM) yang disponsori Asian Development Bank (ADB).

ETM siap membantu ketiga negara ini menghentikan ketergantungan mereka yang besar pada batu bara dengan menghentikan CFPP lebih awal.

Hingga saat ini, setidaknya 9,2 GW PLTU telah diidentifikasi untuk pensiun dini di bawah skema ETM.

Proyek percontohan di tiga PLTU dengan total kapasitas 1,77 GW diharapkan dapat dimulai pada 2022-2023. (Bdk. Indonesia Energy Outlook 2022).

Inisiatif keuangan berkelanjutan

Untuk mendukung penerapan EBT hingga saat ini ada 13 bank yang tergabung dalam inisiatif keuangan berkelanjutan Indonesia (IKBI).

Hingga Q1 2021, empat bank yang menjadi anggota IKBI telah mencairkan total Rp 30 triliun (USD 200 juta) untuk proyek-proyek terbarukan.

Meskipun pembiayaan EBT meningkat, bank-bank lokal masih menyalurkan kredit mereka ke proyek batu bara.

Antara 2018 dan 2020, keempat bank ini telah menyalurkan pinjaman dan penjaminan emisi senilai total Rp 166 triliun (USD 8,8 miliar) untuk proyek-proyek batu bara.

Secara keseluruhan, kesiapan sektor ketenagalistrikan Indonesia untuk beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan akan meningkat tahun 2022 ini, meskipun beberapa aspek masih membutuhkan penyempurnaan besar.

Aspek seperti kemauan politik dan iklim investasi EBT mendapat peringkat rendah.

Hal ini terutama disebabkan untuk NDC yang kurang ambisius dan beberapa peraturan tidak mendukung lainnya serta hambatan masuk pasar yang tinggi bagi investor yang tertarik untuk berinvestasi di pasar terbarukan Indonesia.

Sementara itu, aspek tekno-ekonomi dan sosial telah mengalami beberapa peningkatan dengan PLN memasukkan lebih banyak energi terbarukan ke dalam RUPTL 2021-2030 dan transisi energi mendapatkan lebih banyak dukungan dari masyarakat.

Prospek periode 2022 -2024

Target untuk mencapai energi nol bersih baru terjadi pada tahun 2060 dan penghapusan CFPP secara bertahap pada tahun 2040-an.

Jaraknya masih sangat jauh di depan. Bagaimana untuk jangka waktu pendek 2022-2024?

Dibandingkan dengan iklim aksi dan transisi energi pada tahun 2021, tampaknya tahun 2022 (juga 2023-2-24) menjanjikan prospek yang lebih baik untuk transisi energi di Indonesia.

Pasalnya, karena pemerintah menetapkan komitmen baru yang lebih kuat. Kebijakan utama seperti target emisi net-zero, moratorium PLTU, dan implementasi harga karbon memberikan dampak positif nada untuk transisi energi di tahun-tahun mendatang.

Dalam pelaksanaan RUPTL 2021 yang baru dirilis, ada harapan besar PLN mulai melelang energi terbarukan proyek tahun depan.

Selain PLN, pemerintah daerah, perusahaan publik dan swasta, serta individu akan terus berpartisipasi dalam energi transisi melalui beberapa upaya seperti menetapkan target nol bersih, meningkatkan dana publik untuk energi terbarukan, dan memasang PV surya atap pada bangunan.

PV surya atap diproyeksikan mencapai sekitar 500 MW tahun depan. Selain itu, diharapkan juga akan ada proyek transisi energi yang digulirkan di berbagai lokasi menjadi tuan rumah pertemuan G20 tahun depan.

Proyek-proyek ini termasuk, misalnya, instalasi energi terbarukan dan penyebaran kendaraan listrik.

Di sektor transportasi, lebih banyak adopsi kendaraan roda dua listrik diharapkan dari layanan ride-hailing saat mereka mulai berdiri kemitraan dengan dan berinvestasi di produsen kendaraan roda dua listrik.

Dari inisiatif ini saja, setidaknya akan ada tambahan 25.000 sepeda motor listrik di jalan tahun depan.

Untuk menyukseskan 2022 -2024, pemerintah memang perlu memperbaiki iklim investasi melalui perbaikan kerangka kebijakan dan peraturan.

Regulasi seperti UU EBT dan PP tentang Tarif EBT dan PP tentang penghentian PLTU diharapkan segera diterbitkan untuk mengirim sinyal kuat ke pasar bahwa Indonesia berkomitmen penuh untuk transisi energi.

Implementasi penetapan harga karbon dan proyek percontohan PLTU pensiun dini tahun depan akan menjadi titik kritis baru bagi agenda transisi energi Indonesia.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/18/081000065/kebijakan-ekspor-batu-bara--nasionalisme-ekonomi-vs-target-energi-nol

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke