Misalnya, seseorang yang bergender laki-laki keturunan Jawa menikah dengan perempuan Sunda dan memiliki anak yang lahir di Jakarta.
Ketika dewasa anak-anak mereka kuliah, bekerja, menikah dengan orang Amerika dan menetap di Inggris.
Dari contoh ini saja kita sudah bisa melihat betapa rumit dan kompleksnya mendiskusikan identitas.
Bahkan dalam konteks global saat ini, menggunakan istilah diaspora saja sudah terkesan ‘usang’, karena identitas budaya saat ini sudah semakin kompleks, hibrid, dan sulit untuk diurai dan dicari ‘keasliannya’.
Oleh karena itu, gagasan anti-esensialis yang digagas oleh Hall seharusnya bisa menjadi tantangan sekaligus refleksi untuk kita dalam memahami jati diri budaya sebagai titik awal kita untuk mewujudkan masyarakat multikultural yang damai dan ‘sehat’.
Membangun masyarakat multikultural yang inklusif dan adil memang tidak mudah karena membutuhkan perjuangan serta intervensi dari berbagai pihak, khususnya negara yang kebijakannya dapat berdampak signifikan bagi masyarakat suatu bangsa.
Presiden RI ke-3 K.H. Abdurrahman Wahid telah mencontohkannya dengan mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang sempat direpresi di era Orde Baru.
Dengan semangat membangun pluralisme di Indonesia multikultural, Gus Dur menjamin kebebasan bagi masyarakat Indonesia-Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka.
Di level pendidikan, Nadiem A. Makarim Menristekdikti juga telah melakukannya melalui serangkaian regulasi, seperti kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang salah satu tujuannya ada melawan intoleransi di dunia pendidikan.
Meskipun begitu, mewujudkan masyarakat multikultural yang ‘sehat’ dan adil masih panjang.
Hingga saat ini masih banyak ditemukan kasus-kasus yang perlahan mematikan semangat multikulturalisme.
Contohnya, munculnya otonomi daerah dan desentralisasi dengan serangkaian Perdanya yang problematis.
Kemudian, politik identitas yang mengangkat sentimen terhadap kelompok tertentu dan persoalan sosial-budaya lainnya.
Sederhananya, maukah kita sepakat untuk berbeda?
Oleh karena itu, semangat multikulturalisme harus terus refleksikan dan diperjuangkan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik atau kita memilih porak poranda oleh kelompok anti kemajemukan yang bersumber dari sempitnya cara pandang dan keegoisan diri sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.