Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Multikulturalisme: Maukah Kita Sepakat untuk Berbeda?

Kompas.com - 26/12/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Misalnya, seseorang yang bergender laki-laki keturunan Jawa menikah dengan perempuan Sunda dan memiliki anak yang lahir di Jakarta.

Ketika dewasa anak-anak mereka kuliah, bekerja, menikah dengan orang Amerika dan menetap di Inggris.

Dari contoh ini saja kita sudah bisa melihat betapa rumit dan kompleksnya mendiskusikan identitas.

Bahkan dalam konteks global saat ini, menggunakan istilah diaspora saja sudah terkesan ‘usang’, karena identitas budaya saat ini sudah semakin kompleks, hibrid, dan sulit untuk diurai dan dicari ‘keasliannya’.

Oleh karena itu, gagasan anti-esensialis yang digagas oleh Hall seharusnya bisa menjadi tantangan sekaligus refleksi untuk kita dalam memahami jati diri budaya sebagai titik awal kita untuk mewujudkan masyarakat multikultural yang damai dan ‘sehat’.

Negara harus hadir

Membangun masyarakat multikultural yang inklusif dan adil memang tidak mudah karena membutuhkan perjuangan serta intervensi dari berbagai pihak, khususnya negara yang kebijakannya dapat berdampak signifikan bagi masyarakat suatu bangsa.

Presiden RI ke-3 K.H. Abdurrahman Wahid telah mencontohkannya dengan mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang sempat direpresi di era Orde Baru.

Dengan semangat membangun pluralisme di Indonesia multikultural, Gus Dur menjamin kebebasan bagi masyarakat Indonesia-Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka.

Di level pendidikan, Nadiem A. Makarim Menristekdikti juga telah melakukannya melalui serangkaian regulasi, seperti kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang salah satu tujuannya ada melawan intoleransi di dunia pendidikan.

Meskipun begitu, mewujudkan masyarakat multikultural yang ‘sehat’ dan adil masih panjang.

Hingga saat ini masih banyak ditemukan kasus-kasus yang perlahan mematikan semangat multikulturalisme.

Contohnya, munculnya otonomi daerah dan desentralisasi dengan serangkaian Perdanya yang problematis.

Kemudian, politik identitas yang mengangkat sentimen terhadap kelompok tertentu dan persoalan sosial-budaya lainnya.

Sederhananya, maukah kita sepakat untuk berbeda?

Oleh karena itu, semangat multikulturalisme harus terus refleksikan dan diperjuangkan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik atau kita memilih porak poranda oleh kelompok anti kemajemukan yang bersumber dari sempitnya cara pandang dan keegoisan diri sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Daftar 19 Operasi yang Ditanggung BPJS Kesehatan 2024

Daftar 19 Operasi yang Ditanggung BPJS Kesehatan 2024

Tren
Jasa Raharja Beri Santunan untuk Korban Kecelakaan Maut di Subang, Ini Besarannya

Jasa Raharja Beri Santunan untuk Korban Kecelakaan Maut di Subang, Ini Besarannya

Tren
Media Asing Soroti Penampilan Perdana Timnas Sepak Bola Putri Indonesia di Piala Asia U17 2024

Media Asing Soroti Penampilan Perdana Timnas Sepak Bola Putri Indonesia di Piala Asia U17 2024

Tren
Seorang Bocah Berusia 7 Tahun Meninggal Setelah Keracunan Mi Instan di India

Seorang Bocah Berusia 7 Tahun Meninggal Setelah Keracunan Mi Instan di India

Tren
Apa Itu KRIS? Pengganti Kelas BPJS Kesehatan per 30 Juni 2025

Apa Itu KRIS? Pengganti Kelas BPJS Kesehatan per 30 Juni 2025

Tren
Kata Media Asing soal Kecelakaan di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Kata Media Asing soal Kecelakaan di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Tren
Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Tren
Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Tren
DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

Tren
Duduk Perkara Komika Gerallio Dilaporkan Polisi atas Konten yang Diduga Lecehkan Bahasa Isyarat

Duduk Perkara Komika Gerallio Dilaporkan Polisi atas Konten yang Diduga Lecehkan Bahasa Isyarat

Tren
Arab Saudi Bangun Kolam Renang Terpanjang di Dunia, Digantung 36 Meter di Atas Laut

Arab Saudi Bangun Kolam Renang Terpanjang di Dunia, Digantung 36 Meter di Atas Laut

Tren
Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Tren
Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Tren
Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com