Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Multikulturalisme: Maukah Kita Sepakat untuk Berbeda?

Bahkan kemajemukan budaya itu sudah ada di bumi nusantara ini jauh sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah nation-state.

Fakta terdapatnya 718 bahasa ibu, lima agama besar, 1.340 suku bangsa, 17.504 pulau menjadikan Indonesia sebagai suatu mosaik kebudayaan.

Di satu sisi kondisi ini adalah anugerah, namun di sisi lain keberagaman ini akan memunculkan persoalan-persoalan sosial-budaya jika tidak dipahami secara tepat.

Kymlica (2002) dalam Multiculturalism and Minority Rights mengkonsepsikan multikultural sebagai serangkaian gagasan yang relatif memiliki koherensi dengan ide membentuk mosaik kebudayaan, masyarakat multikultural bermula dari kompleksitas dan interseksi antar ras, gender, kelas sosial, bahasa, agama/kepercayaaan, orientasi seksual.

Permasalahan masyarakat multikultural

Namun, meski kerap ditampilkan sebagai keunikan dan kekuatan suatu negara, Pierre L. Van dan Berghe mengatakan bahwa beberapa permasalahan klasik selalu saja muncul dalam masyarakat multikultural, seperti konflik sosial, munculnya sekat-sekat sosial yang bersifat eksklusif-segmented, dominasi politik dari kelompok mayoritas, dan intoleransi.

Negara kita pun tidak luput dari permasalahan-permasalahan tersebut. Misalnya, konflik Poso di Sulawesi Tengah, konflik Sampit yang melibatkan suku Dayak dan Madura, kerusuhan Sambas, sentimen terhadap etnis Tionghoa yang sempat menguat kembali pada 1998.

Belum lagi kuatnya wacana politik identitas pada kampanye Pemilu 2019 lalu, dan lain-lain.

Beberapa catatan buruk di atas merupakan bukti bahwa keberagaman budaya masih problematis.

Di saat bersamaan multikulturalisme juga belum sepenuhnya dipahami dan masih digunakan sebagai jargon popular, namun tidak bermakna.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof. Manneke Budiman mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia sebagian besar masyarakat memahami multikulturalisme sebatas keragaman etnik, agama, dan budaya saja.

Menurut dia, pemahaman yang bersifat reduksionis ini seharusnya sudah selesai dan tidak perlu dipersoalkan kembali.

Indonesia secara faktual memang sudah multikultural sejak dulu sehingga ‘pekerjaan rumah’ kita selanjutnya adalah memperjuangkan, membangun, dan memeliharanya untuk kehidupan bersama.

Jika tidak, maka akan terus-menerus menjadi ‘bencana’ sosial di masa yang akan datang.

Sebagai perbandingan, Manneke juga menjelaskan bahwa gagasan multikulturalisme di negara-negara Barat (Amerika, Kanada, Inggris) juga tidak kalah problematisnya. Hanya saja, ‘takarannya’ berbeda.

Masyarakat Barat kerap terjebak dalam pemujaan terhadap perbedaan secara berlebihan.

Sehingga ada kesan bahwa identitas yang mereka miliki adalah sudah ‘final’ dan tidak boleh diganggu gugat dengan alasan penghormatan.

Kondisi ini secara potensial akan memunculkan persoalan baru, yakni eksklusifisme budaya yang nantinya boleh jadi akan berkembang menjadi chauvinisme budaya dan memunculkan stigma baru di masyarakat multikultural.

Memahami jati diri budaya

Yang terpenting dan mungkin paling sulit dari multikulturalisme adalah bagaimana menciptakan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat secara ‘sehat’ dan baik.

Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang tepat supaya multikulturalisme, khususnya di Indonesia, menjelma menjadi kualitas, solidaritas, empati, dan keadilan.

Sebagai langkah awal, barangkali kita bisa memulainya dengan memahami konsep tentang jati diri budaya yang compatible dengan multikulturalisme.

Pemahaman identitas budaya, baik di level individual maupun masyarakat, diharapkan dapat menjadi starting point untuk menekan konflik-konflik sosial-budaya dan membangun toleransi di masyarakat.

Untuk memulainya, kita sangat tidak disarankan untuk memahami identitas sebagai entitas yang esensial dan ‘final’.

Artinya identitas dipahami secara kaku sebagai hal yang bersifat ‘kodrati’, ‘alamiah’, dan tidak bisa diganggu gugat lagi.

Jati diri semacam ini mengklaim bahwa dirinya memiliki esensi yang ‘jelas’ seperti asal-usul keturunan, bahasa, agama, kearifan lokal, hingga ciri-ciri fisik yang dijadikan sebagai penanda untuk membedakan dirinya dengan orang atau kelompok lain.

Pemahaman identitas semacam ini berpotensi memicu konflik sosial. Identitas tertentu yang secara kuantitas mengaku sebagai mayoritas dapat menjadi dominan dan merasa paling ‘benar’.

Hal itu berpotensi meminggirkan identitas-identitas lainnya sehingga cara pandang esensialis ini akan menghambat terwujudnya masyarakat multikultural.

Cara pandang esensialis terjadi karena sudah terinternalisasi sejak lama dalam kesadaran kita baik untuk alasan ideologis maupun politis sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menantang maknanya.

Sebagai pembanding, pakar Kajian Budaya asal Inggris, Stuart Hall (1990) dalam Cultural Identity and Diaspora menawarkan cara pandang anti-esensialis dengan melihat identitas sebagai suatu proses dinamis dan konstruksi yang diwacanakan melalui bahasa.

Identitas budaya merupakan entitas kompleks dan interseksi dari berbagai aspek sosial-budaya.

Misalnya, seseorang yang bergender laki-laki keturunan Jawa menikah dengan perempuan Sunda dan memiliki anak yang lahir di Jakarta.

Ketika dewasa anak-anak mereka kuliah, bekerja, menikah dengan orang Amerika dan menetap di Inggris.

Dari contoh ini saja kita sudah bisa melihat betapa rumit dan kompleksnya mendiskusikan identitas.

Bahkan dalam konteks global saat ini, menggunakan istilah diaspora saja sudah terkesan ‘usang’, karena identitas budaya saat ini sudah semakin kompleks, hibrid, dan sulit untuk diurai dan dicari ‘keasliannya’.

Oleh karena itu, gagasan anti-esensialis yang digagas oleh Hall seharusnya bisa menjadi tantangan sekaligus refleksi untuk kita dalam memahami jati diri budaya sebagai titik awal kita untuk mewujudkan masyarakat multikultural yang damai dan ‘sehat’.

Negara harus hadir

Membangun masyarakat multikultural yang inklusif dan adil memang tidak mudah karena membutuhkan perjuangan serta intervensi dari berbagai pihak, khususnya negara yang kebijakannya dapat berdampak signifikan bagi masyarakat suatu bangsa.

Presiden RI ke-3 K.H. Abdurrahman Wahid telah mencontohkannya dengan mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang sempat direpresi di era Orde Baru.

Dengan semangat membangun pluralisme di Indonesia multikultural, Gus Dur menjamin kebebasan bagi masyarakat Indonesia-Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka.

Di level pendidikan, Nadiem A. Makarim Menristekdikti juga telah melakukannya melalui serangkaian regulasi, seperti kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang salah satu tujuannya ada melawan intoleransi di dunia pendidikan.

Meskipun begitu, mewujudkan masyarakat multikultural yang ‘sehat’ dan adil masih panjang.

Hingga saat ini masih banyak ditemukan kasus-kasus yang perlahan mematikan semangat multikulturalisme.

Contohnya, munculnya otonomi daerah dan desentralisasi dengan serangkaian Perdanya yang problematis.

Kemudian, politik identitas yang mengangkat sentimen terhadap kelompok tertentu dan persoalan sosial-budaya lainnya.

Sederhananya, maukah kita sepakat untuk berbeda?

Oleh karena itu, semangat multikulturalisme harus terus refleksikan dan diperjuangkan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik atau kita memilih porak poranda oleh kelompok anti kemajemukan yang bersumber dari sempitnya cara pandang dan keegoisan diri sendiri.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/26/070047065/multikulturalisme-maukah-kita-sepakat-untuk-berbeda

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke