Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Multikulturalisme: Maukah Kita Sepakat untuk Berbeda?

Kompas.com - 26/12/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA adalah negara multikultural dengan beragam agama, budaya, dan bahasa adalah suatu kenyataan yang tidak bisa terelakan lagi.

Bahkan kemajemukan budaya itu sudah ada di bumi nusantara ini jauh sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah nation-state.

Fakta terdapatnya 718 bahasa ibu, lima agama besar, 1.340 suku bangsa, 17.504 pulau menjadikan Indonesia sebagai suatu mosaik kebudayaan.

Di satu sisi kondisi ini adalah anugerah, namun di sisi lain keberagaman ini akan memunculkan persoalan-persoalan sosial-budaya jika tidak dipahami secara tepat.

Kymlica (2002) dalam Multiculturalism and Minority Rights mengkonsepsikan multikultural sebagai serangkaian gagasan yang relatif memiliki koherensi dengan ide membentuk mosaik kebudayaan, masyarakat multikultural bermula dari kompleksitas dan interseksi antar ras, gender, kelas sosial, bahasa, agama/kepercayaaan, orientasi seksual.

Permasalahan masyarakat multikultural

Namun, meski kerap ditampilkan sebagai keunikan dan kekuatan suatu negara, Pierre L. Van dan Berghe mengatakan bahwa beberapa permasalahan klasik selalu saja muncul dalam masyarakat multikultural, seperti konflik sosial, munculnya sekat-sekat sosial yang bersifat eksklusif-segmented, dominasi politik dari kelompok mayoritas, dan intoleransi.

Negara kita pun tidak luput dari permasalahan-permasalahan tersebut. Misalnya, konflik Poso di Sulawesi Tengah, konflik Sampit yang melibatkan suku Dayak dan Madura, kerusuhan Sambas, sentimen terhadap etnis Tionghoa yang sempat menguat kembali pada 1998.

Belum lagi kuatnya wacana politik identitas pada kampanye Pemilu 2019 lalu, dan lain-lain.

Beberapa catatan buruk di atas merupakan bukti bahwa keberagaman budaya masih problematis.

Di saat bersamaan multikulturalisme juga belum sepenuhnya dipahami dan masih digunakan sebagai jargon popular, namun tidak bermakna.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof. Manneke Budiman mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia sebagian besar masyarakat memahami multikulturalisme sebatas keragaman etnik, agama, dan budaya saja.

Menurut dia, pemahaman yang bersifat reduksionis ini seharusnya sudah selesai dan tidak perlu dipersoalkan kembali.

Indonesia secara faktual memang sudah multikultural sejak dulu sehingga ‘pekerjaan rumah’ kita selanjutnya adalah memperjuangkan, membangun, dan memeliharanya untuk kehidupan bersama.

Jika tidak, maka akan terus-menerus menjadi ‘bencana’ sosial di masa yang akan datang.

Sebagai perbandingan, Manneke juga menjelaskan bahwa gagasan multikulturalisme di negara-negara Barat (Amerika, Kanada, Inggris) juga tidak kalah problematisnya. Hanya saja, ‘takarannya’ berbeda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Tren
Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Tren
Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Tren
Apa Itu Vaksin? Berikut Fungsi dan Cara Kerjanya di Dalam Tubuh Manusia

Apa Itu Vaksin? Berikut Fungsi dan Cara Kerjanya di Dalam Tubuh Manusia

Tren
Puncak Hujan Meteor Eta Aquarids 5-6 Mei 2024, Bisakah Disaksikan di Indonesia?

Puncak Hujan Meteor Eta Aquarids 5-6 Mei 2024, Bisakah Disaksikan di Indonesia?

Tren
Kronologi dan Dugaan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Pelaku Sempat Melakukan Upaya Bunuh Diri

Kronologi dan Dugaan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Pelaku Sempat Melakukan Upaya Bunuh Diri

Tren
7 Manfaat Ikan Teri, Menyehatkan Mata dan Membantu Diet

7 Manfaat Ikan Teri, Menyehatkan Mata dan Membantu Diet

Tren
Buah dan Sayur yang Tidak Boleh Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah dan Sayur yang Tidak Boleh Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com