Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Multikulturalisme: Maukah Kita Sepakat untuk Berbeda?

Kompas.com - 26/12/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Masyarakat Barat kerap terjebak dalam pemujaan terhadap perbedaan secara berlebihan.

Sehingga ada kesan bahwa identitas yang mereka miliki adalah sudah ‘final’ dan tidak boleh diganggu gugat dengan alasan penghormatan.

Kondisi ini secara potensial akan memunculkan persoalan baru, yakni eksklusifisme budaya yang nantinya boleh jadi akan berkembang menjadi chauvinisme budaya dan memunculkan stigma baru di masyarakat multikultural.

Memahami jati diri budaya

Yang terpenting dan mungkin paling sulit dari multikulturalisme adalah bagaimana menciptakan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat secara ‘sehat’ dan baik.

Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang tepat supaya multikulturalisme, khususnya di Indonesia, menjelma menjadi kualitas, solidaritas, empati, dan keadilan.

Sebagai langkah awal, barangkali kita bisa memulainya dengan memahami konsep tentang jati diri budaya yang compatible dengan multikulturalisme.

Pemahaman identitas budaya, baik di level individual maupun masyarakat, diharapkan dapat menjadi starting point untuk menekan konflik-konflik sosial-budaya dan membangun toleransi di masyarakat.

Untuk memulainya, kita sangat tidak disarankan untuk memahami identitas sebagai entitas yang esensial dan ‘final’.

Artinya identitas dipahami secara kaku sebagai hal yang bersifat ‘kodrati’, ‘alamiah’, dan tidak bisa diganggu gugat lagi.

Jati diri semacam ini mengklaim bahwa dirinya memiliki esensi yang ‘jelas’ seperti asal-usul keturunan, bahasa, agama, kearifan lokal, hingga ciri-ciri fisik yang dijadikan sebagai penanda untuk membedakan dirinya dengan orang atau kelompok lain.

Pemahaman identitas semacam ini berpotensi memicu konflik sosial. Identitas tertentu yang secara kuantitas mengaku sebagai mayoritas dapat menjadi dominan dan merasa paling ‘benar’.

Hal itu berpotensi meminggirkan identitas-identitas lainnya sehingga cara pandang esensialis ini akan menghambat terwujudnya masyarakat multikultural.

Cara pandang esensialis terjadi karena sudah terinternalisasi sejak lama dalam kesadaran kita baik untuk alasan ideologis maupun politis sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menantang maknanya.

Sebagai pembanding, pakar Kajian Budaya asal Inggris, Stuart Hall (1990) dalam Cultural Identity and Diaspora menawarkan cara pandang anti-esensialis dengan melihat identitas sebagai suatu proses dinamis dan konstruksi yang diwacanakan melalui bahasa.

Identitas budaya merupakan entitas kompleks dan interseksi dari berbagai aspek sosial-budaya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com