Ketika Pemerintah memutuskan status PPKM level 3 secara nasional periode 24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2002, shocked-lah panitia. PBNU harus mendengar Pemerintah. Jelas, ada yang senang muktamar ditunda di tengah gelombang besar yang minta dipercepat. Reminder pun berdentang!
Soeharto sebagai simbol tertinggi Orde Baru, menjadikan semua elemen masyarakat, bahkan pranata-pranata sosial sebagai laboratorium hidup.
Dalam kasus NU, penguasa terpaksa harus menghidupkan semua mesin, dari kota-kota hingga desa-desa, untuk menahan gelombang aktivisme NU. Dari pemegang tongkat komando hingga babinsa. Ketidaksenangan Soeharto kian nampak ketika Gus Dur maju lagi pada Muktamar NU ke-29.
Bagi Soeharto, semua lawan adalah kecil selain NU yang dianggap penentang paling kokoh. Soeharto sangat paham, betapa besar andil NU ikut melahirkan republik. Soeharto sangat paham, NU berdiri tegak membela Soekarno. Tapi juga Soeharto tahu betul, NU adalah kekuatan sangat signifikan saat kejatuhan Soekarno. Dan, Soeharto paham benar proses perpindahan kekuasaan Soekarno ke tangannya.
Karena sadar posisi NU demikian menentukan dalam sejarah kekuasaan negeri ini, Soeharto tidak mau NU jadi kerikil dalam sepatu. Ia harus dibersihkan. NU sangat mengganggu justeru ketika diinjak.
Anda tahu bagaimana Soeharto mendegradasi NU? Soeharto menyiasati muktamar, memiting kekuatan cabang dan wilayah dengan cara mendelegitimasi Gus Dur. Gus Dur dibuatkan penantang: Abu Hasan!
Bahkan pamanda Gus Dur, KH Yusuf Hasyim alias Pak Ud, ikut terseret ke dalam pusaran aksi menentang keponakannya. Disebutkan dalam buku ‘Ajengan Cipasung’, muktamar NU ke-29 itu melahirkan konflik di tubuh NU yang sangat tajam dan nampak sekali adanya aksi borong suara. Sebuah muktamar yang mengabaikan akhlak dan Khittah 1926. Apakah gertakan Soeharto membuat Gus Dur dan NU gentar? Tidak!
"Saya ini tidak tahu diri, sudah tua kok masih berambisi jadi ketua panitia," kata Ketua Panitia muktamar, KH Moenasir Ali --seorang veteran perang kemerdekaan-- saat pembukaan muktamar.
Sinisme itu jelas diarahkan ke Soeharto. Apakah Soeharto mendengar itu? Jelas. Sebab, Kiai Moenasir menyampaikan itu di hadapan Soeharto yang datang dengan Panglima ABRI dan 10 menteri!
Bagaimana ujungnya? Bahwa NU cedera akibat gerilya penguasa Orde Baru, itu benar. Bahkan cedera berat. Kohesi antarpengurus robek. NU pecah. Tapi Soeharto lupa, NU biasa gegeran tapi selalu berakhir dengan ger-gergeran.
Dan benar. Tak lama Abu Hasan sadar. Pulang ke NU dan dimaafkan. Ia dirangkul oleh Gus Dur. Bahkan NU membuat Soeharto tak berkutik setelah Gus Dur dalam sejumlah kesempatan, menggandeng Mbat Tutut ke kantong-kantong NU.
Belajar dari Soeharto, para penguasa setelahnya, harus berhitung cermat, mengukur dengan alat mitigasi yang akurat, dan memetakan segala dampaknya, jika coba-coba mau mencelakakan NU.
Penting diingat, NU memiliki kader tak terbatas, menyebar di banyak lini kehidupan, termasuk di partai politik. NU sangat memahami sepak terjang Golkar, PDI Perjuangan, Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, apalagi PKB dan PPP.
Sangat bisa jadi, untuk kepentingan 2024, NU potensial dijadikan laboratorium oleh kekuatan politik tertentu. NU harus menjadikan horor Cipasung sebagai alarm.
Sudah bukan jamannya kekuatan masyarakat dan pranata sosial dijadikan kendaraan merebut kekuasaan. Meski eks-Hizbullah, tapi sindirian Kiai Moenasir amat pedas. Rasa-rasanya, penguasa saat ini tidak "berbakat" menyakiti hati para ulama.
Merindukan Shalawat Asyghil. Wallaahu A'lamu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.