KOMPAS.com - Badan Legislatif DPR RI (Baleg) membuat perubahan terhadap draf rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS).
Setelah didaftarkan pada 17 Desember 2019 dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, muncul draf baru RUU PKS yang disusun oleh Baleg.
Baleg DPR akhirnya memulai dari awal proses RUU PKS dengan draf baru yang disusun oleh tim tenaga ahli pada 30 Agustus 2021.
Baca juga: LBH Jakarta Berikan 16 Catatan terhadap Draf RUU PKS
Ada beberapa perubahan dalam RUU tersebut. Berikut poin-poin perubahan RUU PKS:
Dalam RUU PKS versi Baleg DPR, terminologi 'penghapusan' dalam judul telah dihapus dan namanya diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Hilangnya terminologi tersebut menitikberatkan pada penindakan tindak pidana dan bukan menghapus kekerasan seksual.
Berbagai ketentuan yang sebelumnya diusulkan oleh perwakilan masyarakat sipil dan organisasi perempuan melalui naskah akademik dan naskah RUU PKS pada september 2020 telah dihilangkan.
Dalam draf rancangan undang-undang yang baru, ada perubahan cakupan bentuk kekerasan seksual dari 9 bentuk kekerasan menjadi 5 bentuk.
Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI hanya 5 bentuk kekerasan seksual, yaitu:
Sementara, pada naskah RUU PKS, masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual, yaitu:
Adapun kesembilan bentuk tersebut didasarkan pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengada layanan dan Komnas Perempuan.
Dalam RUU terbaru tersebut, terdapat larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum tindak kekerasan seksual. Hal ini sama halnya dengan mempertahankan status quo yang tidak berpihak pada korban.
Pada bagian pencegahan kekerasan masih bersifat umum dengan tidak memberikan mandat khusus kepada kementerian atau lembaga.
Tidak adanya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab.
Selain itu, tidak ada kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban.