Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

4 Poin Perubahan RUU PKS ke RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Setelah didaftarkan pada 17 Desember 2019 dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, muncul draf baru RUU PKS yang disusun oleh Baleg.

Baleg DPR akhirnya memulai dari awal proses RUU PKS dengan draf baru yang disusun oleh tim tenaga ahli pada 30 Agustus 2021.

Ada beberapa perubahan dalam RUU tersebut. Berikut poin-poin perubahan RUU PKS:

1. RUU PKS menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Dalam RUU PKS versi Baleg DPR, terminologi 'penghapusan' dalam judul telah dihapus dan namanya diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Hilangnya terminologi tersebut menitikberatkan pada penindakan tindak pidana dan bukan menghapus kekerasan seksual.

2. Perubahan 9 bentuk kekerasan seksual menjadi 5

Berbagai ketentuan yang sebelumnya diusulkan oleh perwakilan masyarakat sipil dan organisasi perempuan melalui naskah akademik dan naskah RUU PKS pada september 2020 telah dihilangkan.

Dalam draf rancangan undang-undang yang baru, ada perubahan cakupan bentuk kekerasan seksual dari 9 bentuk kekerasan menjadi 5 bentuk.

Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI hanya 5 bentuk kekerasan seksual, yaitu:

  • Pelecehan Seksual (Pasal 2)
  • Pemaksaan Memakai Alat Kontrasepsi (Pasal 3)
  • Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 4)
  • Eksploitasi Seksual (Pasal 5)
  • Tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain (Pasal 6).

Sementara, pada naskah RUU PKS, masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual, yaitu:

  • Pelecehan seksual
  • Perkosaan
  • Pemaksaan perkawinan
  • Pemaksaan kontrasepsi
  • Pemaksaan pelacuran
  • Pemaksaan aborsi
  • Penyiksaan seksual
  • Perbudakan seksual
  • Eksploitasi seksual

Adapun kesembilan bentuk tersebut didasarkan pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengada layanan dan Komnas Perempuan.

3. Tidak adanya perlindungan pada korban

Dalam RUU terbaru tersebut, terdapat larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum tindak kekerasan seksual. Hal ini sama halnya dengan mempertahankan status quo yang tidak berpihak pada korban.

Pada bagian pencegahan kekerasan masih bersifat umum dengan tidak memberikan mandat khusus kepada kementerian atau lembaga.

Tidak adanya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab.

Selain itu, tidak ada kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban.

Peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual pun juga dihapuskan.

Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas.

Padahal, korban kekerasan seksual dengan disabilitas memiliki kebutuhan yang khusus dan berbeda-beda, termasuk aksesibilitas informasi Juru Bahasa Isyarat atau pendampingan psikologis yang disesuaikan dengan kebutuhan.

4. Kosongnya Pengaturan KBGO

Tidak adanya pasal yang mengatur tentang kekeasan gender berbasis online (KGBO).

Berdasarkan publikasi SAFEnet, selama tahun 2020 terdapat 620 laporan kasus KBGO yang dilaporkan kepada SAFEnet.

Jumlah laporan tersebut merupakan hasil peningkatan sebesar sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2019.

(Sumber: KOMPAS.com/Tsarina Maharani, Rahel Narda Chaterine | Editor: Dani Prabowo, Krisiandi)

https://www.kompas.com/tren/read/2021/09/04/151500865/4-poin-perubahan-ruu-pks-ke-ruu-tindak-pidana-kekerasan-seksual

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke