Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irwan Suhanda
Editor dan Penulis

Editor dan Penulis

Soekarno dan Sukarno

Kompas.com - 18/08/2021, 06:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DIRGAHAYU Republik Indonesia! Saat memperingati Hari Kemerdekaan ke-76 RI, pasti akan teringat founding fathers dan Pahlawan Proklamator Sukarno dan Mohammad Hatta. Kedua tokoh bangsa yang sangat berjasa bagi bangsa Indonesia.

Saya jadi teringat sekitar tahun 2012, saya (dan Patricius Cahanar) berkunjung ke Yayasan Bung Karno yang berkantor di Gedung Pola Lantai 3 (sekarang Gedung Perintis Kemerdekaan) di Jalan Proklamasi 56, Jakarta.

Sekadar mengulang, Gedung Pola adalah gedung yang dibangun semasa pemerintahan Presiden Sukarno. Gedung ini dibangun di halaman belakang rumah milik Sukarno (Bung Karno) di Jalan Pegangsaan Timur 56. Sedangkan Gedung Proklamasi yang asli sekaligus bersejarah telah punah dibongkar.

Beberapa puluh meter dari Gedung Pola ada Tugu Petir yang merupakan titik sejarah tempat dibacakannya teks Proklamasi. Kemudian Monumen Proklamasi yang berada paling depan. Tak jauh dari situ ada Tugu Peringatan Satu Tahun Proklamasi yang sempat dibongkar kemudian dibangun kembali.

Kedatangan kami diterima dengan baik oleh beberapa pengurus dari Yayasan Bung Karno (mohon maaf saya lupa nama Bapak yang menemui kami). Tujuan kami pada saat itu hunting buku-buku karya Sukarno untuk kami terbitkan ulang.

Tetapi ternyata pihak Yayasan Bung Karno sudah memiliki agenda menerbitkan sendiri buku-buku karya Sukarno, misalnya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Dibawah Bendera Revolusi, dan lainnya.

Pada saat yang sama kami diputarkan beberapa film dokumenter pidato Bung Karno. Cerita punya cerita, pihak Yayasan kemudian bercerita tentang penulisan ejaan nama Bung Karno yang hingga saat ini tidak seragam. Ada yang menuliskan Soekarno, ada juga yang menuliskan Sukarno, baik di media cetak/online maupun buku cetak.

Pihak Yayasan bercerita bahwa penggantian ejaan Soekarno menjadi Sukarno memang keinginan Bung Karno sendiri. Ini tertulis dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adam.

Di dalam buku itu tertulis: “Namaku hanya Sukarno saja. Waktu di sekolah, tanda tanganku dieja Soekarno--menurut ejaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, aku memerintahkan supaya segala ejaan /oe/ kembali ke /u/. Ejaan dari perkataan Soekarno sekarang menjadi Sukarno.”

Sekadar mengingat, tahun 1947, Menteri Pengajaran RM Suwandi mengganti ejaan Van Ophuijsen yang sudah digunakan sejak 1901 menjadi Ejaan Suwandi yang berlaku pada 17 Maret 1947. Contoh Ejaan Suwandi adalah huruf /oe/ berubah menjadi /u/, /dj/ berubah menjadi /j/, /tj/ menjadi /c/, dsb. Kemudian Ejaan Suwandi ini menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) hingga sekarang ini.

Pihak Yayasan kemudian menambahkan, mengenai tanda tangan Bung Karno memang beliau kesulitan saat mengubah karena sudah terbiasa goresannya. Oleh karena itu, dibiarkan ejaan /oe/ tersebut seperti yang tertera pada teks Proklamasi.

Konsistensi Bung Karno terhadap penggantian ejaan namanya, dibuktikan pada dokumen dan buku-buku karya Bung Karno yang diterbitkan. Misalnya buku Dibawah Bendera Revolusi; Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; Sarinah; dsb. Bahkan buku Pasang Naik Kulit Berwarna karya L. Stoddard yang terbit tahun 1966, yang diberi kata pengantar Presiden Republik Indonesia, pun memakai ejaan Sukarno.

Lebih jauh lagi saya perhatikan pada buku karya Mohammad Hatta (Bung Hatta) yang saya miliki, beliau pun secara konsisten menuliskan Sukarno bukan Soekarno pada setiap tulisannya. Hal ini tertulis dalam buku Memoar Mohammad Hatta (Untuk Negeriku), Sekitar Proklamasi, Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977).

Putri Bung Karno, Sukmawati, dalam Republika.co.id (2015) menyerukan agar nama Soekarno menjadi Sukarno dengan alasan yang sama seperti yang dituturkan pihak Yayasan Bung Karno.

Apabila dikaitkan dengan ejaan nama-nama pahlawan atau pejuang Indonesia lainnya, saya perhatikan umumnya telah memakai ejaan yang telah disempurnakan. Misalnya, Tjipto Mangoenkoesoemo menjadi Cipto Mangunkusumo; Soetan Sjahrir menjadi Sutan Syahrir; Jenderal Soedirman menjadi Jenderal Sudirman, dsb.

Tetapi, ada penulis buku yang tetap berpendirian bahwa nama tidak boleh diubah ejaannya, kecuali nama kota, tempat, gunung, dsb. Namun, menurut saya pribadi, sebaiknya diubah sesuai EYD dan perkembangan zaman.

Setidaknya menciptakan kepastian untuk generasi saat ini dan mendatang. Sebab kesalahan orang pada umumnya hingga saat ini yaitu sering salah menulis nama orang lain!

Karena itu kita tak dapat menyepelekan nama orang, seperti yang dikatakan pujangga Shakespeare, apa arti sebuah nama?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com