Ada tiga tempat atau situs bersejarah Perang Diponegoro (1825 - 1830) yang menarik bagi saya pribadi. Ketiga situs itu adalah gedung bekas kantor Karisidenan Belanda di Magelang, Istana Negara di Jakarta, dan kota Manado.
Magelang tempat kelahiran saya, Manado tempat pendidikan saya selepas SMA dan istana para pemimpin tertinggi kolonial Belanda yang sekarang jadi Istana Kepresidenan (Istana Negara) di Jakarta, salah satu bagian tempat saya menjalankan tugas sebagai wartawan sejak 1987 hingga 2016.
Manado adalah kota penyumbang tempat bagi penulisan otobiografi atau Babad Diponegoro yang kini menjadi karya tulis bertaraf internasional. Otobiografi itu menjadi salah satu hasil karya sastra besar di era Jawa modern.
Tanggal 18 Juni 2013, otobiografi yang ditulis Sang Pangeran di Benteng Nieuw Amsterdam di pusat Kota Manado, 1831-1832 (sembilan bulan) itu diterima oleh Komite Pesasihat Internasional UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa) untuk dimasukan dalam daftar Ingatan Kolektif Dunia (International Register of the Memory of the World).
Demikian catatan sejarahwan terkenal dari Inggris, Peter Carey, dalam bukunya terbitan pertama tahun 2015, berjudul Takdir - Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Selama 40 tahun, Peter yang saat ini masih tinggal di Indonesia ini mengadakan penelitian tentang pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Banyak buku tentang Diponegoro dan sejarah Nusantara telah ia terbitkan.
Hal menarik untuk direnungkan adalah catatan Peter Carey tentang berita surat kabar, Suara Merdeka tahun 2012. Surat kabar itu memberitakan, hanya sembilan persen dari para mahasiswa baru Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang yang tahu siapa Diponegoro. Lebih sedikit lagi para mahasiswa yang memahami tentang perang Diponegoro.
Peter Carey juga mencatat, 90 persen karya tulis ilmiah (sejarah) tentang Indonesia disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia, yang sebagian besar adalah orang-orang asing.
“Jika ini benar, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia paling kurang efektif menjelaskan dirinya pada dunia luar,” kata Peter dalam bukunya menyambut hari ulang tahun ke-228 Diponegoro tahun 2013.
Sementara itu Istana Negara di Jakarta (kini jadi salah satu istana kepresidenan RI) pada akhir Januari 1830, menyumbang tempat perundingan antara Panglima Tertinggi Tentara Hindia Belanda Jenderal Jenderal De Kock dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch tentang penangkapan Pangeran Diponegoro.
Sebelum menulis artikel ini, saya mengontak Peter yang pernah menghadiri acara peluncuran buku saya, Sisi Lain Istana Jilid I tahun 2014 di Bentara Budaya Kompas, Jakarta.
Kepada Peter Carey, saya mengatakan akan menulis perjalanan Diponegoro dari Magelang (8 Maret 1830 sampai di Manado 12 Juni 1930 lewat Jakarta (selama 3 bulan). Perjalanan dari Jakarta ke Manado 3 Mei 1830 sampai Manado (12 Juni 1830) berlangsung enam minggu dengan kapal korvet angkatan laut Kerajaan Belanda, Pollux.
Sambil menuliskan perjalanan Diponegoro lewat laut selama enam minggu (Jakarta-Manado), saya membayangkan perjalanan saya dengan kapal barang Watudambo dari Jakarta-Manado selama dua minggu dari menjelang akhir 1974 sampai pertengahan 1975.
Untuk ini, Peter mengirimkan kepada saya sejumlah teks catatan harian Letnan Dua Knoerle yang mendampingi Sang Pangeran dalam pelayaran ke Manado. Knoerle adalah ajudan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch yang fasih berbahasa Jawa.