KOMPAS.com - Sinetron “Suara Hati Istri” yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta tengah mendapatkan sorotan publik.
Hal yang disoroti adalah isu pernikahan anak yang ada dalam alur cerita sinetron itu.
Pemeran Zahra dalam sinetron tersebut masih berusia 15 tahun dan berperan sebagai istri ketiga dari karakter Pak Tirta.
Adegan-adegan dalam film ini juga menjadi sorotan dan dinilai tak pantas bagi pemeran yang masih berusia belia.
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengaku geram karena tayangan seperti ini masih terus diproduksi dan dipublikasikan.
Andy menilai, dalam sinetron Zahra, terdapat penormalan eksploitasi anak dari keluarga miskin ke dalam perkawinan.
“Romantisasi perkawinan anak (baik terhadap pihak anak maupun laki-laki berusia lanjut untuk menikahi anak),” ujar Andy saat dihubungi Kompas.com, Kamis (3/6/2021).
“Padahal kita sungguh-sungguh menghadapi masalah perkawinan anak,” ujar Andy.
Andy mengatakan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga punya peran penting untuk mengawasi jam tayang dengan ketat.
Menurut dia, KPI dapat melakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih pro aktif dan upaya penindakan yang lebih serius.
Terkait sinetron "Suara Hati Istri", ia berpendapat, yang dilakukan seharusnya bukan hanya mengganti pemain, tetapi menghentikan penayangannya.
“Misalnya saja, dalam kasus Zahra penghentian tayangan seharusnya dilakukan bukan semata mengganti pemainnya,” kata Andy:
Pihak lain yang menjadi pengiklan seharusnya juga menelaah sinetron yang disponsorinya, sebagai bentuk dukungan agar sinetron menjadi tontonan yang layak bagi masyarakat.
“Pihak swasta seharusnya juga bisa membantu dengan tidak mendukung penayangan yang bermuatan misoginis ini,” ujar dia.
Baca juga: KPAI soal Sinetron Zahra: Ada Potensi Eksploitasi Anak dan Seksual
Selama tahun 2020, lanjut Andy, berdasarkan data yang masuk ke Komnas Perempuan, jumlah dispensasi perkawinan anak sebanyak 64.211.