Pandemi membuat perusahaan menerapkan cara kerja digital. Tetapi, tentu saja akan ada tantangan yang harus dipecahkan agar bekerja lebih optimal.
Tantangan pertama terletak pada tingkat adaptabilitas para pekerja. Berdasarkan laporan Microsoft Work Trend Index tahun 2021, pandemi justru membuat salah satu generasi yang tech-savvy, yakni gen Z berjuang keras.
Hal ini karena waktu kerja fleksibel yang justru dibarengi dengan beban kerja yang bertambah. Belum lagi, ketika bekerja di rumah, ada urusan rumah yang harus dikerjakan dan 37 persen pekerja dunia merasa perusahaan menuntut lebih banyak dari mereka.
Lalu, ada juga masalah kesehatan mental para pekerja yang perlu diperhatikan oleh pimpinan perusahaan. Pada masa COVID-19, ada pegawai yang dirumahkan, di PHK, maupun diturunkan gajinya agar perusahaan tetap bertahan.
Terkait yang disebutkan terakhir, bagi pekerja, penurunan gaji berdampak pada kekhawatiran finansial. Survei yang dilakukan Jobstreet pada Agustus tahun 2020 lalu menemukan fakta itu. Sebesar 55 persen pekerja mengalami penurunan gaji. 66 persen mengalami rasa takut apakah mereka cukup secara finansial. 55 persen mengaku takut apakah mereka masih memiliki pekerjaan atau tidak.
Di satu sisi, kondisi ini sebenarnya bisa membuat pekerja mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.
Tetapi, jika melihat di sisi lain, hal itu bisa berarti adanya tuntutan lebih bagi pekerja. Kondisi ini berkontribusi terhadap penurunan kesehatan mental para pekerja.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena anggota yang memiliki permasalahan mental yang pelik akan sulit untuk fokus dalam pekerjaan. Alhasil, mereka bisa tidak membawa hasil yang baik dalam pekerjaan mereka.
Ada kekhawatiran yang disebutkan oleh CEO dari ModalRakyat, Wafa Taftazani. Dari perspektif pemimpin, dia mengatakan kalau risiko terbesar dari perspektif pemimpin adalah tone-deaf di mana pemimpin tidak peka terhadap kesulitan terhadap pribadi maupun tim.
Mereka justru menuntut pekerjaan di tengah terpaan kesulitan yang dialami oleh anggota-anggotanya.
Tantangan kedua terletak bagaimana cara berkomunikasi melalui saluran digital. Sistem kerja work from home berarti harus ada koordinasi secara intens, terlebih para pimpinan tidak bisa mengawasi secara langsung hasil pekerjaan anggotanya. Sehingga, ada tuntutan untuk terus berkoordinasi agar pekerjaan dilakukan dengan tepat.
Selain itu, karena komunikasi dilakukan secara virtual, banyak tumpukan informasi yang didapatkan dan menyulitkan anggota untuk menyaring informasi yang penting atau tidak.
Hal ini membuat anggota bisa mengalami misinformasi sehingga info penting tidak tersampaikan dengan baik.
Nyawa pekerjaan yang baik terletak pada sebaik apa setiap elemen dalam perusahaan berkomunikasi dan berkoordinasi. Jika itu tidak terlaksana dengan baik, maka hasil pekerjaan bisa tidak maksimal.
Digitalisasi berikut tantangannya memberikan pekerjaan rumah bagi pemimpin agar mampu menavigasi perusahaan di tengah ketidakpastiaan ini.
Tren ke depan, Perusahaan akan semakin mengintegrasikan teknologi ke dalam praktik kerjanya.
Berdasarkan laporan dari Accenture Technology Vision 2021, 86 persen setuju bahwa organisasi mereka harus melatih anggotanya agar berpikir seperti seorang teknologis.
Artinya, akan ada perubahan pola pikir di seluruh elemen organisasi agar mereka mampu mengadopsi teknologi untuk cara kerja yang optimal.
Kuncinya disini adalah bagaimana pemimpin selalu adaptif terhadap perubahan. Kepekaan untuk mendeteksi variabel yang bisa mengubah lingkungan menjadi penting. Kepekaan tersebut akan mendorong pemimpin untuk membuat suatu inovasi agar tetap relevan dengan zaman.
Perusahaan yang tidak berinovasi tentu akan mengalami kejatuhan dan sudah banyak buktinya. Pemimpin wajib untuk terus belajar karena inovasi membutuhkan pengetahuan yang memadai.